Ketika dalam debat capres pertama yang diselenggarakan KPU di pertengahan desember ini, ada satu selentingan Anies baswedan yang ditujukan ke Prabowo Subianto bahwa Prabowo tidak tahan jadi oposisi. Lantas apakah Anies Baswedan sendiri adalah seorang yang benar – benar berdiri sebagai oposisi pemerintahan, ataukah kebetulan saja Anies sedang berada di luar pemerintahan..
Posisi oposisi terhadap pemerintahan adalah sebuah posisi dimana pihak tersebut tidak berada di dalam pemerintahan dan secara aktif menyuarakan kritisi atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Penyebabnya bisa karena perbedaan nilai/ideologi, perbedaan sikap/pendapat/kebijakan politik atau bisa juga karena tidak diajak bergabung oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Meski dalam sistem pemerintahan Indonesia tidak dikenal istilah oposisi, tapi faktanya sering ada penyebutan oposisi dan pendukung pemerintah oleh masyarakat. Lantas bagaimana menilai seorang Anies Baswedan yang selalu mendaku diri sebagai oposisi pemerintah Jokowi. Apakah benar dia seorang oposisi ataukah kebetulan saja tidak diajak bergabung oleh pemerintah yang sedang berkuasa (Jokowi). Ada beberapa hal yang bisa menjelaskan dimana posisi oposisinya seorang Anies Baswedan.
Pertama, adalah rekam jejak politik Anies Baswedan. Kalo kita melihat rekam jejak politik seorang Anies Baswedan di hadapan pemerintah Jokowi, maka kita akan melihat jejaknya diawali oleh peran Anies Baswedan sebagai juru bicara di Tim Kampanye Nasional Jokowi di pilpres (pemilihan presiden) tahun 2014. Kemudian dia diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan kebudayan tahun 2014 – 2016 di periode pertama pemerintahan Jokowi. Setelahnya Anies maju sebagai cagub (calon gubernur) melawan cagub Ahok (yang didukung pak Jokowi) dan kebetulan juga Anies diusung oleh pak Prabowo Subianto (Gerindra). Dari rekam jejak politik ini sebenarnya jelas bahwa Anies tidak pernah benar-benar menjadi oposisi pemerintahan Jokowi. Bahkan setelah tidak menjabat menteri, tidak pernah kita mendengar suara kritis seorang Anies terdengar. Dan ketika Anies menjabat sebagai Gubernur maka posisi oposisi jelas tidak relevan lagi, karena posisi tersebut telah menjadi posisi struktural pusat – daerah dimana undang-undang sudah mengaturnya.
Kedua, Anies didukung oleh Parpol pendukung Jokowi. Ketika Anies Baswedan menerima diusung oleh partai Nasdem sebagai calon presiden (capres) maka secara otomatis gugurlah klaim dia sebagai oposisi pemerintahan Jokowi. Apalagi ketika mengambil PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai koalisi utama parpol pengusungnya, maka semakin tegas bahwa Anies Baswedan bukanlah seorang/pihak oposisi pemerintah Jokowi. Dua parpol pendukung utama Anies Baswedan (Nasdem dan PKB) adalah parpol pendukung pemerintahan saat ini. Kalo PKS hanyalah partai pelengkap koalisinya saja. Maka bagaimana seorang Anies akan membuat perbedaan yang jelas kalo pertai pengusung utamanya adalah partai pendukung pemerintah saat ini. Hanya pendukung buta dan emosional saja yang masih berimajinasi bahwa Anies Baswedan adalah seoramg oposisi pemerintah Jokowi.
Ketiga, Anies gagal memimpin parpol koalisinya untuk “head to head” dengan pemerintah Jokowi. Sebagai capres yang mendaku sebagai oposisi, yang katanya membawa narasi perubahan, tetapi di belakang panggung membentang tautan benang merah antara parpol pengusungnya dengan pemerintah yang sedang berkuasa (Jokowi). Anies tidak cukup kuat untuk meyakinkan apalagi memotong rantai parpol pendukung utamanya (Nasdem dan PKB) dari temali anasir pemerintah yang berkuasa. Di depan panggung Anies bersuara seolah berbeda/melawan pemerintah tapi di belakang panggung parpol pengusungnya masih ikut dengan pemerintah. Inilah kontradiksi oposisi yang didaku/diklaim oleh Anies baswedan dan pendukungnya. Maka bagaimana Anies akan membatalkan kebijakam IKN sementara parpol pengusungnya adalah pendukung IKN. Akhirnya apa yang dikatakan Anies menjadi omong kosong politik saja.
Keempat, mengambil cak Imin sebagai calon cawapres-nya. Abdul Muhaimin Iskandar (cak Imin) adalah ketua umum PKB, pada akhirnya diambil oleh Anies sebagai cawapres nya (calon wakil presiden). Entah alasan pragmatis memenuhi syarat preshold (presiden treshold), atau alasan lain, yang pasti sosok cak Imin adalah sosok yang masih belum lepas dari bayang-bayang kasus hukum kardus durian dan korupsi sistem proteksi TKI. Ini adalah kasus yang berlangsung selama cak Imin menjabat sebagai menteri tenaga kerja dan transmigrasi tahun 2009 – 2014. Maka, ketika Anies mengatakan bahwa kondisi hukum saat ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah adalah sebuah pernyataan yang menggambarkan bagaimana perlakuan hukum atas cak Imin yang juga merupakan kalangan orang atas (elit politik). Di sini lah Anies mengacungkan jari telunjuk ke pihak lain tapi empat jari menunjuk ke dirinya (dus cak Imin). Maka mau oposisi yang seperti apa kalo cawapres nya sendiri masih berada dalam bayang-bayang kasus hukum korupsi.
Membaca dari empat hal di atas maka terlihat bahwa secara historis (rekam jejak), fakta politik (parpol pendukung utama) dan fakta pendukung (cawapres cak Imin), seorang Anies Baswedan jauh dari definisi sebagai seorang oposisi. Bisa disebut bahwa klaim oposisi dari capres Anies Baswedan hanyalah sebuah bentuk oposisi semu (pseudo oposisi), oposisi yang tidak memiliki basis pijakan yang jelas. Dia mendaku oposisi karena kebetulan saja tidak lagi diajak di dalam pemerintahan . Karena itulah seorang Anies sangat berkepentingan untuk tetap melekat dengan kalangan di luar pemerintahan, tapi di sisi lain dia tidak membangun basis perlawanan.
Mimpi Perubahan?
Ketika seorang Anies Baswedan menyampaikan visi, misi dan mimpi perubahan, dia selalu mengajak untuk melihat rekam jejaknya selama memimpin (gubernur) DKI Jakarta. Dia mencoba mengajak masyarakat hanya melihat hasil-hasil pembangunan di jakarta. Lagian dengan APBD sebegitu besar ya ngapain aja kalo ngga bisa buat bangunan-bangunan yang megah, dan lain-lain. Meski masih banyak pekerjan rumah DKI Jakarta yang bekum terselesaikan. Itu adalah hal lain. Masalahnya Anies menjanjikan perubahan di aspek hukum, ekonomi dan politik ditengah rekam jejak politik dan fakta politik yang tidak memiliki basis pendukung untuk mendorong perubahan. Apakah klaim oposisi yang semu itu bisa menjadi faktor penggerak perubahan? Jawabannya sudah pasti TIDAK bisa.
Dari sini akhirnya mudah ditebak, bahwa mimpi – mimpi perubahan yang selalu digaungkan oleh Anies Baswedan dan pendukungnya pada akhirnya hanya akan menjadi tata retorika belaka, yang enak didengar dan dibaca, tapi lemah dari sisi basis pendukung politiknya. Tidak ada garansi kepastian yang bisa diberikan oleh seorang Anies kepada masyarakat, karena memastikan koalisi parpol pendukungnya benar-benar satu kata untuk berada di luar pemerintahan sekarang (Jokowi) saja tidak mampu dilakukan, apalagi mendorong perubahan.
Penulis: Rahmantoha Budiarto
Ketua JARI Maju’98, Alumni KAMMI