Republiktimes.com – Cukup lama saya mendapat nasehat dari Bang Fahri, tentang buruknya akhlak seseorang yang arogan. Sebab dari kenapa dia sampai menasehati aku demikian kerasnya sesungguhnya saya lupa lupa ingat. Tapi kalimatnya sangat jelas.
“Zahra, aku telah hidup lebih lama daripada kamu, dan waktuku untuk hidup di dunia ini mungkin tinggal singkat saja, jadi mohon dengarkan aku untuk kebaikanmu di masa depan, janganlah tinggi hati Zahra,” ujarnya.
Apa teman – teman kira saya langsung memahami maksud dari jangan tinggi hati saat itu juga? Boro – boro, yang ada saya sangat tersinggung pada waktu itu, bahkan berhari – hari. Ibarat orang yang sedang mengalami kebutaan, aku butuh berjuang untuk melihat kebenaran.
Bukan hanya Sun go kong yang melakukan perjalanan untuk mencari kitab suci, saya pun melakukan hal yang sama untuk mencari hikmah. Perjalanan pertama adalah ketika mendengar pidato singkat dari Anis Matta saat deklarasi Bacapres Prabowo, beberapa bulan yang lalu. Ia menyebut Sultan Alp Arslan, Pemimpin Bani Seljuk yang menjadi moyang dari Ottoman Empire, ia mencatat sejarah kemenangan besar sebelum mati terbunuh ditusuk belati oleh tawanannya sendiri.
4 hari setelah penusukan itu, ia menemui ajal. Beruntungnya, Alp Arslan masih sempat beristighfar akan kesalahannya, setelah ia menyadari bahwa bersitan hatinya tentang pertanyaan “Kira – kira siapa lagi yang dapat mengalahkan saya” saat mengumpulkan pasukan besarnya di Samarkand, adalah hal yang menjadi sebab teguran Allah tersebut.
Tentu saja, saya langsung teringat atas nasehat Bang Fahri sebelumnya. Tapi memang yang namanya masih bebal ya masih sulit terima. Saat itu saya berfikir, ah sesama bestie sama saja isu yang di bawa. Di tengah situasi jelang pemilu 2024 ini, saya kira yang lebih penting adalah bagaimana jika kita lebih mementingkan akal sehat dan keunggulan analisa neokorteks kiri yang detail untuk mencari solusi kebangsaan. Alih – alih persoalan kearifan dan kebijaksanaan.
Tapi Allah adalah dzat yang Maha Besar dimana ia mampu memperlihatkan kuasanya dengan menghidupkan lampu – lampu yang terang di sepanjang jalan yang gelap. Lakon para aktor politik yang berlaga di pemilu ini, hingga kelompok masyarakatnya yang berperan rupanya membentuk sebuah pola. Saya mulai melihat dengan terang, siapa dan kelompok mana yang berusaha untuk bersikap arif dan rendah hati serta mengutamakan perdamaian dengan siapa dan kelompok mana yang sebaliknya. Hasilnya seperti yang saya duga, baik yang arif maupun yang tidak, ada di dalam kelompok manapun. Skor seri.
Tinggal bagaimana kita melihat pemimpinnya, ada yang dengan terang menyepelekan orang lain dengan sebutan tidak level, ada yang gemilang dan low profile bicara tidak tahu karena memang tidak tahu, ada yang menyebut kesempatan untuk menjadi pemimpin adalah hak seluruh anak bangsa, ada yang meskipun bergelar pendidikan mentereng namun ia bicara dengan sangat rendah hati dan seluruh kritiknya bernilai perbaikan, hingga seorang anak muda yang selalu mengapresiasi semua pihak. Semua jelas terlihat baik dengan mata zahir dan mata batin.
Bahwa menganggap diri sendiri lebih unggul dan menyepelekan orang lain tanpa rasa hormat sesungguhnya hanya akan menciptakan garis batas pemisahan. Padahal kata Don Corleone, Keep your friend close, and your “enemy” closer.
Zahra
Ketua Jaringan Alumni Perguruan Tinggi Islam (JAPTI) Indonesia