Pidato Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Walisongo: gulirkan fiqih madani respons sengkarut kenegaraan

Republiktimes.com –  Ragam persoalan kenegaraan yang belakangan muncul seperti korupsi, kesenjangan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, demokrasi liberal serta praktik politik oligarki harus direspons dengan cermat. Prof. Dr. Muhyar Fanani, M.A, dalam pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Islam di UIN Walisongo, Rabu (24/7/2024) menggulirkan gagasan fiqih madani.

Prof. Muhyar dalam pidato pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Hukum Islam mengatakan, ragam persoalan kenegaraan yang terjadi saat ini harus segera direspons dengan gagasan fiqih madani. Ia menyebutkan, instrumen tersebut dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan sengkarut kenegaraan.

“Hukum Islam harus mampu bertransformasi menjadi hukum madani, yakni hukum yang beresensi syariat tapi diformulasikan oleh lembaga legislatif secara demokratis,” ujar Prof. Muhyar dalam pidatonya di UIN Walisongo, Semarang, Rabu (24/7/2024).

Adapun operasionalisasi dari gagasan tersebut, Prof. Muhyar menyebutkan, dibutuhkan kolaborasi dari pelbagai pihak mulai dari ulama, lembaga legsilatif hingga lembaga eksekutif yang sama-sama memerankan sebagai mujtahid di era negara-bangsa saat ini.

“Para ulama berperan sebagai mujtahid istimbathi, sementara lembaga legislatif dan lembaga ekskeutif berperan sebagai mujtahid tathbiqi,” papar Prof. Muhyar.

Tidak sekadar itu, Prof. Muhyar juga menyebutkan, transformasi fiqih Islam menjadi fiqih madani membutuhkan penambahan syarat teoritis dalam kajian ushul fiqh, yakni aspek impelementasi hukum Islam yang bertumpu pada kreativitas akal dan pengalaman (empiris) dari mujtahid dengan berpijak pada kondisi obyektif negara bangsa.

“Ada enam langkah yang bisa ditempuh dalam upaya transformasi dari fiqih Islam ke fiqih madani,” cetus Prof. Muhyar.

Enam langkah tersebut, Prof. Muhyar uraikan yakni identifikasi masalah publik, identifkasi hukum Islam yang terkait dengan persoalan yang dimaksud, penamaan nomenklatur baru atas hukum Islam yang dapat dipahami pelbagai pihak, formulasi substansi hukum Islam menjadi draf hukum madani, draf hukum madani ke dalam prorses legislasi nasional melalui instrumen ketatanegaraan di DPR, serta mendorong peran lembaga yudikatif untuk menjalankan hukum madani secara berkeadilan.

“Enam langkah tersebut dilakukan secara simultan dan komprehensif,” tegas Prof. Muhyar.

Dalam penjelasannya, Prof. Muhyar tak sedikit mengutip sejumlah pemikiran intelektual Islam seperti Muhammad Shahrur dan Yusuf Al-Qardhawi. Menurut dia, Syharur dan Qordhowi memiliki irisan pandangan mengenai Islam yang tidak hanya agama yang berdimensi transendental, namun juga memerhatikan masalah sosial dan politik.

“Islam tidak hanya berusaha membangun pribadi yang baik, keluarga yang baik, dan masyarakat yang baik, tapi juga berusaha membangun negara yang baik,” jelas Prof. Muhyar.

Namun, Prof. Muhyar menggarisbawahi, penyebutan negara Islam yang dimaksud bukan berarti negara agama (negara teokrasi), negara pendeta, negara sekuler, bukan pula negara komunis, namun yang dimaksud adalah negara madani. Dia menyebutkan, NKRI dapat dikategorikan sebagai negara Islam karena dari awal didesain sebagai negara madani oleh para pendiri bangsa.

“NKRI sesungguhnya memberikan hak kepada warga negara untuk membuat hukumnya sendiri selama sesuai dengan Pancasila. Dalam NKRI, selain urusan ibadah, umat Islam bisa membuat legislasinya sendiri,” pungkasnya.

Share this post :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest