Republiktimes.com – Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Purn) Dr. Anang Iskandar, menilai, penyalahgunaan narkotika semestinya tidak perlu dihukum, melainkan cukup direhabilitasi saja. Menurut Anang, pelaku/korban penyalahgunaan narkotika adalah orang yang sedang sakit, sehingga tidak perlu ditindak dengan langkah represif.
“Seandainya saya jadi presiden, saya perintahkan untuk dibuat Peraturan Pemerintah tentang tata cara penegakan hukum khusus narkotika,” ujar Anang, dikutip dari laman akun IG @anangiskandar.
Lebih lanjut, Anang, yang juga Dosen Sekolah Kajian Srategik dan Global Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, tentu ada treatment berbeda bagi pengguna dengan pengedar narkotika.
Di mana pengguna atau penyalah guna narkotika, tidak dilakukan langkah represif (penegakan hukum), tetapi dilakukan pemulihan (rehabilitatif) melalui wajib lapor pecandu. Sedangkan pengedar, dilakukan penegakan hukum dengan hukuman pengekangan kebebasan/pemenjaraan dan perampasan aset hasil kejahatan melalui pembuktian terbalik di pengadilan.
“Hasil perampasan aset digunakan untuk biaya pencegahan, rehabilitasi, dan penegakan hukum (pasal 99 s/d pasal 102 UU No. 35/2009),” jelas Anang.
Ia juga mengingatkan, Peraturan Pemerintah tentang tata cara penegakan hukum khusus narkotika tersebut, sangat penting dan urgen. Di mana Peraturan Pemerintah itu, kata Anang, untuk meniadakan dualisme penegakan hukum yang menyebabkan pengguna atau penyalahguna narkotika, ada yang dihukum penjara, dan ada yang dihukum pidana alternatif menjalani rehabilitasi atas putusan hakim.
“Di satu sisi penegak hukum menafsirkan berdasarkan KUHAP dan KUHP menyebabkan penyalah guna dijatuhi hukuman penjara,” kata Anang.
Di sisi lain, penegakan hukum berdasarkan UU No. 35/2009 tentang narkotika menyatakan, hukuman bagi penyalahguna narkotika baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maupun pecandu, wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54) dan kewenangan memutus agar penyalahguna menjalani rehabilitasi diberikan pada hakim berdasarkan pasal 103.
“Dualisme penegakan hukum dihukum penjara atau direhabilitasi, menjadi penyebabkan penegakan hukum narkotika tidak fair,” kata Anang.
Kontroversi penyalahguna dihukum penjara biar kapok vs penyalahguna dihukum alternatif menjalani rehabilitasi agar pulih terjadi sejak UU narkotika diberlakukan.
Dilema ataupun polemik ini bahkan menjadi semakin viral, ketika Wakil Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Imigrasi dan Pemasarakatan, Prof. Otto Hasibuan memancing dengan pertanyaan apakah kita sependapat bahwa para pengguna narkotika adalah orang sakit?, dalam Rapat Kerja Nasional Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) di Semarang, beberapa hari lalu.
Karena salah tafsir mengenai pengguna atau penyalahguna adalah orang sakit adiksi atau bukan, dapat atau tidaknya pengguna atau penyalahguna mempertanggung jawabkan perbuatan pidana menjadi kunci penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika.
Bagi Anang, salah tafsir menyebabkan lapas over kapasitas, terjadi anomali lapas dan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika.
“Seperti yang dialami Ammar Zoni 3 kali dihukum penjara, Ibra Ashari 6 kali dihukum penjara, dan Rio Reifan 5 kali dihukum penjara. Apa kita tidak sedih kalau mereka terus menjadi pengguna narkotika? Andai saja mereka direhabilitasi menemukan jalan kesembuhannya,” pungkas Anang.