ICJR: Transparansi & akuntabilitas pemberian amnesti massal bukan hanya soal publikasi data namun kejelasan aturan dan komitmen perubahan

Republiktimes.com – Pada Selasa (7/1/2025), Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, menyatakan berjanji akan membuka data 44.000 narapidana yang hendak diberikan amnesti. Kementerian Hukum (Kemenkum) pun sedang menanti finalisasi data dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemen Imipas), selaku pihak yang bertugas melakukan asesmen terhadap narapidana.

Menurut Supratman, hal ini bertujuan agar terdapat kontrol publik untuk melihat siapa saja yang akan menerima amnesti. Dan setelah data didistribusikan oleh Kemen Imipas, maka Kemenkum akan meneliti untuk kemudian diserahkan kepada presiden.

Adapun pemberian amnesti nantinya akan ditujukan terhadap para terpidana makar tidak bersenjata di Papua, penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE, warga binaan pengidap sakit berkepanjangan, seperti gangguan kejiwaan maupun HIV-AIDS, dan pengguna narkotika yang seharusnya menjalani rehabilitasi.

Dalam rilis sebelumnya terkait amnesti 44.000 narapidana, pada dasarnya Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sepakat terhadap kebijakan yang dilakukan atas dasar kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun terhadap proses pemberian amnesti 44.000 narapidana, ICJR memiliki sejumlah catatan soal transparansi dan akuntabilitas proses ini.

Peneliti ICJR, Girlie L.A. Ginting, pun menyampaikan, ada beberapa catatan soal transparansi dan akuntabilitas dalam proses tersebut. Yakni, yang pertama, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada soal kepentingan untuk mempublikasi data Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang akan diberikan amnesti, tetapi juga perlu memperhatikan lebih besar pada legitimasi pemberian amnesti ini.

“Perlu ada kebijakan dasar amnesti agar terdapat pertimbangan yang adil bagi potensial 44.000 terpidana yang akan diberikan amnesti. Kami memahami bahwa pemerintah akan beragumen bahwa amnesti bagian dari hak presiden, namun kami mengingatkan bahwa dasar amnesti diberikan karena kelebihan penghuni lapas yang terjadi bertahun,” ujarnya, pada Rabu, (8/1/2025, di Jakarta.

Terhadap hal ini, lanjutnya, pemerintah harus berfokus pada WBP yang sedari awal tidak layak dipenjara karena kerangka hukum yang bermasalah. Untuk menjamin bahwa amnesti ini benar dilakukan pada WBP tersebut, maka harus ada dasar aturan kepada siapa amnesti tersebut diberlakukan.

“Kebijakan ini harus dikeluarkan, setidaknya dalam peraturan menteri untuk menjamin standarisasi pelaksanaan penilaian dan pemberian amnesti, sampai dengan diusulkan ke presiden dan dipertimbangkan oleh DPR. Tanpa adanya kebijakan yang mengatur mengenai mekanisme pemberian amnesti, maka akan ada ketidakjelasan mekanisme uji ataupun komplain yang dapat ditempuh jika ada pelanggaran dalam pelaksanaan penilaian dan pemberiaan amnesti tersebut,” tambahnya.

Kemudian yang kedua, mengenai data pribadi, data penerima amnesti yang akan dipublikasikan oleh Kemenkum, harus memperhatikan perlindungan data pribadi, di mana para WBP pun memiliki hak privasi yang tidak sepenuhnya dapat diketahui oleh khalayak umum. Pun yang kami minta soal transparansi adalah adanya aturan yang dapat diakses publik, proses penilaian yang ada aturan standarnya serta mekanisme uji/komplain yang tersedia, bukan informasi pribadi WBP.

“Untuk juga mendorong konsistennya sikap pemerintah terkait amnesti ini, ICJR mendorong komitmen pemerintah untuk menghapuskan kerangka hukum yang tidak sejalan dengan upaya penghindaran overkriminalisasi dan penggunaan penjara secara eksesif,” tegas Girlie.

Kemudian juga respon perubahan legislasi tersebut dengan dekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dalam Revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di mana pengguna narkotika dalam jumlah tertentu direspon dengan intervensi kesehatan oleh lembaga kesehatan, bukan dengan rehabilitasi berbasis hukuman.

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan amnesti pada terpidana penghinaan presiden, maka kriminalisasi penghinaan presiden harus juga dihapuskan dalam UU No. 1/2023 tentang KUHP yang baru.

“Yang perlu ditekankan bahwa hal ini harus menjadi komitmen pemerintah untuk menghentikan ketergantungan dengan pemenjaraan. Pemerintah harus melakukan penguatan terhadap persiapan implementasi KUHP Baru yang mendorong respon non penjara melalui pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana denda,” pungkasnya.

Share this post :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest