Jakarta, Republiktimes.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan mengalami tekanan yang cukup signifikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 3,95% dalam sepekan terakhir. Sedangkan sejak awal tahun, IHSG melemah 11,61%. IHSG tumbang di perdagangan terakhir pekan ini. Jumat (21/3), IHSG ambruk 1,93% atau 123,49 poin ke 6.258,18 pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Para investor tampaknya mulai mempertanyakan arah kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto. Ketidakpastian mengenai kemampuan anggaran negara dalam mendanai berbagai program ambisius telah menimbulkan kekhawatiran di pasar, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan IHSG.
Salah satu faktor utama penyebab anjloknya IHSG adalah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tercatat sebesar Rp31,2 triliun per Februari 2025. Hal ini menunjukkan lemahnya penerimaan negara yang turun hingga 20,85% dibandingkan tahun sebelumnya.
Ketidakpercayaan Pasar Bikin IHSG Ambruk
Penurunan IHSG tidak bisa dilepaskan dari faktor ketidakpercayaan pasar terhadap stabilitas kebijakan ekonomi yang akan dijalankan pemerintahan baru. Para pelaku pasar mengamati dengan cermat setiap janji politik yang disampaikan, dan ketika melihat program-program yang membutuhkan anggaran besar tanpa kejelasan sumber pendanaannya, mereka cenderung bersikap hati-hati atau bahkan menarik investasi mereka dari pasar modal.
Salah satu faktor yang diduga berkontribusi terhadap turunnya IHSG adalah janji-janji ekonomi Prabowo yang dinilai terlalu ambisius dan sulit direalisasikan. Salah satu gagasan yang menjadi sorotan adalah program makan siang gratis untuk siswa dan ibu hamil. Program ini tentu memiliki tujuan yang baik, yakni meningkatkan gizi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, menurut berbagai analisis, program ini diperkirakan membutuhkan anggaran hingga ratusan triliun rupiah per tahun. Dengan kondisi anggaran negara yang masih memiliki defisit serta kebutuhan belanja lain yang mendesak, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, dari mana dana sebesar itu akan didapat?
Kebijakan Ekonomi yang Muluk-Muluk
Selain itu, Prabowo juga mencanangkan industrialisasi besar-besaran untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Namun, rencana ini membutuhkan investasi yang masif serta kebijakan yang mendorong sektor manufaktur agar lebih kompetitif. Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia justru menghadapi tantangan deindustrialisasi dini, di mana sektor manufaktur sulit berkembang karena kebijakan yang tidak konsisten, ketidakpastian hukum, dan lemahnya daya saing tenaga kerja. Jika pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas dalam mengatasi masalah fundamental ini, industrialisasi hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi nyata.
Belum lagi, janji lain seperti peningkatan gaji aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri, serta berbagai subsidi dan insentif bagi rakyat kecil, semuanya membutuhkan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Dengan struktur penerimaan negara yang masih sangat bergantung pada pajak dan harga komoditas global, sulit membayangkan bagaimana anggaran negara bisa menopang semua program ambisius ini tanpa menambah utang secara signifikan. Kekhawatiran mengenai hal ini membuat para pelaku pasar ragu, yang pada akhirnya berdampak pada sentimen negatif di bursa saham.
Di sisi lain, jika pemerintah memaksakan diri untuk merealisasikan program-program ini tanpa memperhitungkan kemampuan fiskal, dampaknya bisa sangat berbahaya bagi stabilitas ekonomi negara. Potensi defisit anggaran yang semakin melebar, kenaikan utang negara, dan kemungkinan pemotongan anggaran di sektor lain yang juga krusial bisa menjadi konsekuensi dari kebijakan ekonomi yang tidak realistis.
Kebijakan Ekonomi Sesuai Kemampuan Anggaran
Kebijakan ekonomi Prabowo harus disusun dengan mempertimbangkan kapasitas anggaran negara agar tetap berkelanjutan. Program-program besar seperti makan siang gratis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat memang penting, tetapi perlu perhitungan matang agar tidak membebani keuangan negara.
Tanpa perencanaan yang baik, ada risiko meningkatnya defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, yang bisa berdampak pada stabilitas ekonomi jangka panjang. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi harus berorientasi pada efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan anggaran.
Salah satu solusi agar kebijakan tersebut dapat berjalan tanpa membebani APBN adalah dengan meningkatkan penerimaan negara, baik melalui optimalisasi pajak maupun investasi. Reformasi perpajakan bisa dilakukan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Selain itu, mendorong investasi, baik dalam maupun luar negeri, dapat menjadi sumber pendanaan yang lebih sehat dibandingkan utang. Pemerintah juga perlu mengurangi pengeluaran yang tidak produktif dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memiliki dampak maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan ekonomi juga harus menyesuaikan dengan kondisi global dan tantangan domestik, seperti inflasi dan nilai tukar rupiah. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara belanja sosial dan pembangunan infrastruktur agar tidak mengorbankan sektor lain yang juga krusial.
Penutup
Jika tidak dikelola dengan hati-hati, kebijakan populis yang tidak realistis dapat menyebabkan dampak negatif bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih pragmatis dan berbasis data diperlukan agar kebijakan ekonomi yang diusung tetap bermanfaat tanpa menimbulkan beban keuangan yang berlebihan bahkan memperburuk kondisi ekonomi. Tentu kita semua tidak menginginkannya.[]
Edo Segara Gustanto/Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian Analisis dan Ekonomi Nusantara