Pakar Hukum UMY: Vonis Tom Lembong Mengguncang Keadilan Publik

Yogyakarta, Republiktimes.com – Dalam kasus korupsi impor gula, Thomas Trikasih Lembong yang juga dikenal sebagai Tom Lembong, dihukum 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta oleh hakim. Meskipun hakim menyatakan bahwa Tom tidak menikmati uang yang dihasilkan dari korupsi, Tom tetap dihukum.

Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Assoc. Prof. M. Endriyo Susila, SH, MCL, Ph.D., memberikan komentar tentang keputusan tersebut. Menurut Endriyo, vonis tersebut sangat mengejutkan dan bahkan mengoyak kepercayaan masyarakat pada keadilan. Dalam kenyataannya, putusan tersebut dianggap sebagai prognosis medis, yang seharusnya menghasilkan keputusan bebas, tetapi pada kenyataannya, itu mengesahkan hukuman penjara.

Putusan pemidanaan terhadap Tom Lembong ini sangat tidak diantisipasi. Saat diwawancarai melalui WhatsApp pada Rabu (23/7) Endriyo mengatakan, “Meminjam istilah dari dunia kedokteran, prognosis kasus ini seharusnya menghasilkan putusan bebas murni (vrijspraak), tetapi kenyataannya ketokan palu hakim justru mengesahkan hukuman 4,5 tahun penjara untuk Tom.”

Endriyo menyatakan bahwa, meskipun putusan ini dianggap tepat oleh majelis hakim dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, tanggapan negatif dari orang-orang yang hadir di persidangan, tokoh masyarakat, dan pegiat antikorupsi menunjukkan bahwa vonis tersebut tidak memenuhi atau bahkan mengoyak rasa keadilan publik. Dia juga menyatakan ketidaksepakatan pribadi dengan keputusan tersebut.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melibatkan Tom Lembong. Pasal ini mengatur korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi negara. Karena izin impor gula yang diberikan kepada importir swasta dianggap menguntungkan korporasi dan merugikan negara, swasta mendapatkan keuntungan. Majelis hakim memutuskan bahwa tindakan Tom sebagai Menteri Perdagangan memenuhi unsur delik korupsi karena pemberian izin ini dilakukan secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan kementerian yang relevan.

Endriyo menekankan kemerosotan penegakan hukum Indonesia, termasuk pemberantasan korupsi. Ia menyatakan bahwa institusi penegak hukum seolah mengalami pembusukan dari dalam, dan bahwa aktor politik sering memperalat sistem hukum dan oknum penegak hukum menggunakannya sebagai komoditas.

Dia menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap figur publik atau pejabat publik bukan hanya tidak efektif, tapi juga bisa salah sasaran jika kondisi seperti ini terus berlanjut.

Endriyo mengatakan bahwa kasus ini dapat terus bergulir melalui berbagai upaya hukum terkait konsekuensi putusan ini. Jika keputusan ini memiliki kekuatan hukum permanen (inkracht van gewijsde), karir Tom Lembong akan dihentikan untuk sementara waktu. Namun, statusnya sebagai mantan narapidana tidak akan menjadi masalah besar setelah bebas karena masyarakat lebih suka melihatnya sebagai hasil dari kriminalisasi daripada sebagai kejahatan murni.

Endriyo menjelaskan, “Perkara ini bisa terus bergulir, dengan berbagai upaya hukum untuk melawan putusan pemidanaan yang digunakan oleh pihak Tom. Jika putusan pemidanaan ini suatu saat telah memiliki kekuatan hukum tetap, tentu saja selama masa pidana, karirnya akan terhenti sementara.”

Endriyo mengatakan bahwa Tom akan dapat berkarir lagi sesuai kapasitas profesionalnya setelah dia bebas. “Publik lebih melihat status mantan napi Tom sebagai hasil kriminalisasi daripada karena kejahatan masa lalunya,” katanya.

Namun, dari perspektif publik, keputusan seperti ini semakin menguatkan gagasan bahwa hukum dapat dimanipulasi. Dilaporkan bahwa pihak Tom Lembong sendiri berencana untuk mengajukan banding. Namun, peluang untuk mengajukan banding sangat bergantung pada pendapat majelis hakim yang akan memeriksa kasus di tingkat banding.

Endriyo menyimpulkan, “Jika cara pemahaman kasus oleh majelis hakim pada tingkat pertama sama, hasilnya lebih kurang sama. Namun, jika majelis hakim tingkat banding melihatnya dengan cara yang berbeda, hasil akhirnya bisa berbeda.”[]

Sumber: website www.umy.ac.id