Republiktimes.com – Dalam sebuah kordinasi pekerjaan, tim saya nyeletuk soal penyaluran LAZISNU DIY yang baru saja dilakukan di sebuah pondok Yatim Piatu. “Pak, Pondok teman Pak Edo itu Pondok Nahdliyin (NU) bukan?”. “Saya kurang paham mbak. Coba nanti saya tanyakan ya ke teman saya yang membantu penyaluran kemarin?”, jawab saya.
Ya, kami memang baru saja membuat kegiatan di bulan Muharram, di mana bulan ini dikenal sebagai lebaran Anak Yatim. Ada beberapa paket sembako dan amplop untuk anak yatim yang tersisa di kegiatan tersebut karena beberapa anak yang tidak bisa hadir, sehingga saya punya inisiatif untuk meminta bantuan teman untuk menyalurkannya.
Soal pertanyaan tim saya tadi, saya jadi teringat pemaparan dengan Prof. Dr.Phil. Sahiron, M.A. yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama. Dalam sebuah sesi Program Peningkatan Kompetensi Dosen Pemula 2025 (22/7/2025), Prof Sahiron mengatakan: “Kalau kita bisa toleran dengan agama lain, tentu kita harus lebih toleran dengan agama sendiri (kelompok Islam) yang lain.”
Saya punya kesimpulan terkait diskusi dengan tim saya tadi, harusnya sekalipun pondok yatim itu milik Muhammadiyah pun tidak menjadi persoalan ketika LAZISNU DIY menyalurkan kesana. Justru di situlah letak moderasi beragama yang disampaikan Prof. Sahiron.
Empat Poin Nilai Moderasi Beragama
Empat nilai utama moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal. Nilai-nilai ini menjadi indikator keberhasilan moderasi beragama dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut penjabarannya:
Pertama, Komitmen Kebangsaan. Nilai ini menekankan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai perbedaan agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia.
Kedua, Toleransi. Mencakup sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan serta praktik keagamaan antarumat beragama, tanpa memaksakan kehendak atau keyakinan.
Ketiga, Anti Kekerasan. Menolak segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal, dalam berinteraksi dengan sesama, termasuk dalam konteks agama. Moderasi beragama mendorong penyelesaian konflik secara damai dan dialogis.
Keempat, Penghargaan Terhadap Budaya Lokal. Mengakui dan menghargai keberagaman budaya serta tradisi yang ada di masyarakat, serta tidak merendahkan atau menolak budaya lokal karena perbedaan agama.
Dengan mengamalkan empat nilai ini, mudah-mudahan moderasi beragama dapat mewujudkan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera di tengah keberagaman.
Giat Bareng dengan LAZISMU DIY
Masih soal moderasi beragama, saya malah punya kawan dekat di LAZISMU DIY. Teman saya tersebut menjabat sebagai Manajer di sana. Mungkin posisinya bisa jadi sama dengan saya yang saat ini menjabat direktur LAZISNU PWNU DIY. Saya pernah mengontaknya, “Ayo kapan ngopi-ngopi. Kita buat giat bareng.” Teman saya tersebut juga menyambut dengan antusias, “Ayo kapan mas!”.
Tentu ada beberapa hal yang bisa dikerjasamakan dan bisa menjadi isu bersama. Misal soal Palestina, tentu baik NU atau Muhammadiyah punya komitmen yang sama untuk terus mendukung kebebasan bangsa Palestina. Apalagi isunya hari ini Palestina menderita kelaparan karena bantuan dari seluruh Negara diblokir oleh Israel.
Saya juga dalam waktu dekat punya ide untuk menggelar acara “Mewarnai, Mendongeng dan Literasi ZISWAF untuk Anak-Anak.” Saya kira jika ide ini saya kolaborasikan dengan LAZISMU, kuantitas peserta dan crowded acara ini bisa kita dapatkan. Untuk hasil pengumpulan ZISWAF, tentu bisa dibagi dua. Yang paling penting, kegiatan ini menunjukkan harmonisasi dan kolaborasi antar ormas dalam bidang sosial. Inilah moderasi beragama. Allahu’alam.[]
Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta