Zakat Sebagai Pendorong Pengumpulan Pajak di Era Digital

Republiktimes.com – Sebelumnya saya pernah menulis tulisan dengan judul “Zakat Sebagai Pengganti Pajak di Indonesia.” Tulisan ini rupanya banyak disalah pahami oleh para pembaca. Nah, agar tidak salah paham, saya coba mengurai miss informasi tersebut di tulisan ini sekaligus partisipasi saya dalam lomba yang diadakan Direktorat Jendral Pajak (DJP) Republik Indonesia dengan tema: “Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia di Era Digital.

Mengapa saya memunculkan tema zakat berbarengan dengan tema pajak, tidak lain karena di Negara kita mayoritas muslim. Secara emosional, zakat bisa mendorong untuk seseorang untuk membayar pajak. Digitalisasi zakat dapat menjadi pendorong kepatuhan pajak karena membentuk budaya sadar kontribusi terhadap negara dan sesama. Masyarakat yang terbiasa membayar zakat secara digital akan lebih familiar dan teredukasi dengan sistem administrasi fiskal berbasis teknologi, termasuk pembayaran pajak daring.

Zakat dan pajak merupakan dua instrumen fiskal yang secara prinsip memiliki tujuan sama, yaitu mendistribusikan kembali kekayaan dan mendorong keadilan sosial. Namun, dalam konteks masyarakat Muslim, zakat tidak hanya sekadar kewajiban sosial, tetapi juga ibadah yang memiliki dimensi spiritual dan ekonomi.

Di era digital, peran zakat sebagai instrumen pelengkap pajak semakin relevan karena digitalisasi memungkinkan pengelolaan zakat menjadi lebih transparan, terintegrasi, dan terukur. Lembaga zakat berbasis digital seperti LazisNU Online atau Baznas Digital Platform telah menunjukkan efektivitas teknologi dalam meningkatkan partisipasi muzaki dan memperluas jangkauan distribusi zakat.

Literasi Inklusi Keuangan Vs Literasi Zakat

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024 yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa tingkat literasi keuangan nasional mencapai 65,43 persen. Artinya, dari setiap 100 penduduk Indonesia berusia 15 hingga 79 tahun, sekitar 65 orang dinilai memiliki pemahaman yang baik (well literate) terkait lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan.

Sementara itu, tingkat inklusi keuangan Indonesia tercatat sebesar 88,73 persen, yang menunjukkan bahwa hampir 89 dari setiap 100 orang di kelompok usia tersebut telah menggunakan produk dan/atau layanan jasa keuangan formal. Capaian ini mencerminkan kemajuan signifikan dalam upaya peningkatan pemahaman dan akses masyarakat terhadap sektor keuangan di Indonesia.

Bagaimana dengan indeks literasi zakat di tahun 2024? Survei Indeks Literasi Zakat (ILZ) 2024 menyasar kelompok umur generasi Milenial dan generasi Z. Hasil survei menunjukkan bahwa skor nasional mencapai 74.83, mengalami sedikit penurunan sebesar 0.43 poin dibandingkan ILZ 2022 (75.26), namun masih lebih tinggi 8.05 poin dibandingkan ILZ 2020.

Secara umum, ILZ Indonesia tetap berada dalam kategori Menengah/Moderat. Ketiga dimensi utama ILZ 2024 menunjukkan pola yang bervariasi, di mana Dimensi Sikap mencatat skor tertinggi (85.34, kategori Tinggi), mencerminkan bahwa masyarakat memiliki pandangan positif terhadap zakat sebagai kewajiban agama dan instrumen sosial. Dimensi Pengetahuan memiliki skor 70.83 (kategori Menengah/Moderat), menunjukkan adanya ruang untuk meningkatkan pemahaman teknis mengenai zakat.

Digitalisasi Zakat Bisa Mendorong Kepatuhan Zakat

Digitalisasi zakat dapat menjadi pendorong kepatuhan pajak karena membentuk budaya sadar kontribusi terhadap negara dan sesama. Masyarakat yang terbiasa membayar zakat secara digital akan lebih familiar dan teredukasi dengan sistem administrasi fiskal berbasis teknologi, termasuk pembayaran pajak daring.

Data dari BAZNAS menyebutkan bahwa penghimpunan zakat nasional mencapai Rp31 triliun pada 2023, meningkat signifikan berkat kanal-kanal digital. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin menerima sistem keuangan berbasis elektronik, yang pada gilirannya dapat memperkecil potensi penghindaran pajak dan memperluas basis wajib pajak, terutama dari sektor informal.

Pemerintah dapat memanfaatkan digitalisasi zakat sebagai model penguatan basis data fiskal. Misalnya, dengan mengintegrasikan data muzaki dan penghasilan mereka ke dalam sistem administrasi perpajakan, pemerintah bisa membangun basis data penghasilan yang lebih akurat, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum tersentuh sistem pajak konvensional.

Negara-negara seperti Malaysia dan Arab Saudi telah mengadopsi pendekatan integratif ini melalui lembaga seperti Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN) dan Zakat Board, yang memungkinkan insentif pengurang pajak dari zakat. Indonesia dapat mengembangkan model serupa untuk mendorong sinergi zakat dan pajak demi memperkuat keuangan negara tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan sosial dan syariah.

Penutup

Zakat di era digital tidak hanya relevan sebagai kewajiban keagamaan, tetapi juga memiliki potensi besar sebagai katalisator penguatan sistem perpajakan nasional. Digitalisasi zakat mendorong budaya kepatuhan dan transparansi yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan fiskal modern. Ketika masyarakat terbiasa menunaikan zakat secara daring melalui aplikasi dan platform digital, maka mereka akan lebih siap dan teredukasi untuk mengikuti sistem perpajakan digital yang sedang dikembangkan pemerintah.

Dengan tingkat literasi zakat yang sudah cukup tinggi di kalangan generasi muda, serta indeks inklusi keuangan yang mendekati 89 persen, Indonesia memiliki modal sosial dan teknologi yang kuat untuk menyinergikan zakat dan pajak secara strategis. Penguatan basis data muzaki, integrasi informasi dengan sistem perpajakan, dan pemberian insentif fiskal yang selaras dengan prinsip syariah adalah langkah-langkah nyata yang dapat ditempuh untuk mendorong perluasan basis pajak tanpa menimbulkan resistensi sosial.

Oleh karena itu, zakat bukanlah pengganti pajak, tetapi bisa menjadi jembatan menuju kepatuhan pajak yang lebih luas dan sukarela, terutama di kalangan mayoritas Muslim. Dengan pendekatan digital, kolaboratif, dan berbasis data, zakat dapat memainkan peran penting dalam menutup celah-celah fiskal, sekaligus memperkuat rasa keadilan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IIQ An Nur Yogyakarta