Penolakan Perpol No 10/2025: Supremasi Konstitusi dan Kritik Kekuasaan Akhir Tahun

Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam masyarakat. Regulasi yang diterbitkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 9 Desember 2025 ini mengatur penugasan anggota Polri aktif di luar struktur organisasi, termasuk di 17 kementerian dan lembaga negara.

Namun, aturan ini langsung menuai penolakan keras karena dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI (UU Polri) Pasal 28 ayat (3).

Pengurus Besar Serikat Pelajar Muslimin Indonesia (PB SEPMI) menjadi salah satu suara terdepan yang menyatakan sikap tegas. Pada 20 Desember 2025, di Sekretariat PB SEPMI, Tanjung Duren, Jakarta Barat, Ketua Departemen Hukum dan HAM Faujan Ahmad ( Kader Tangerang Selatan), menegaskan bahwa Perpol ini berpotensi multitafsir, membuka penyalahgunaan wewenang, dan menabrak semangat reformasi kepolisian yang menjunjung hak asasi manusia. “Putusan MK bersifat final dan mengikat.

Tidak boleh ada peraturan di bawahnya yang bertentangan. Jika dibiarkan, ini mencederai prinsip negara hukum,” ujar Faujan. Ia menekankan bahwa pelajar bukan ancaman negara, melainkan aset bangsa yang hak konstitusionalnya termasuk bersuara kritis harus dilindungi.

PB SEPMI secara resmi mendesak pencabutan Perpol Nomor 10 Tahun 2025 sebagai regulasi inkonstitusional. Lebih jauh, kita meminta Presiden RI mengevaluasi Kapolri secara menyeluruh, bahkan mencopotnya jika terbukti gagal menjaga Polri tunduk pada konstitusi. “Jika pimpinan penegak hukum tidak menjadikan konstitusi sebagai panglima, evaluasi hingga pencopotan adalah langkah sah dalam demokrasi,” tegas faujan. Sikap ini, merupakan kontrol sosial pelajar yang damai, intelektual, berbasis nilai Islam, ilmu pengetahuan, dan cinta tanah air bukan kepentingan politik praktis.

Penolakan serupa bergema dari berbagai kalangan, mencerminkan kegelisahan atas apa yang digambarkan sebagai “haus jabatan yang tak pernah puas”. Bayangkan sebuah kerajaan modern di mana penjaga gerbang yang seharusnya fokus menangkap pencuri dan menjaga ketertiban—malah rakus merebut kursi emas para menteri sipil. Perpol ini bukan reformasi, melainkan pesta pora kekuasaan, di mana 17 kementerian menjadi mangsa empuk. UU Polri Pasal 28 ayat (3) dan Putusan MK 114/2025—yang membatalkan frasa penugasan Kapolri sebagai celah rangkap jabatan hanya dijadikan alas kaki yang diinjak-injak.

Tokoh seperti Mahfud MD berteriak lantang bahwa ini “bertentangan dengan segalanya”, tapi suaranya seolah tenggelam dalam ambisi haus kekuasaan. Putusan MK dibakar di api serakah, sementara UU ASN Pasal 19 ayat (3) dibaca selektif seperti menu restoran: ambil bonus Polri, abaikan tagihan konstitusional. Para pejabat ini bagai vampir jabatan, berpindah dari seragam biru ke jas sipil, menyedot anggaran negara sambil berpura-pura melayani rakyat. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi epidemi keserakahan yang membuat bayang-bayang Orde Baru terasa seperti piknik keluarga.

Jika dibiarkan, polisi bukan lagi pelindung masyarakat, melainkan penguasa absurd yang mendominasi segala bidang. Sungguh komedi tragis: hukum jadi lelucon, konstitusi diabaikan, dan rakyat menjadi tahanan dalam kerajaan kekuasaan tak terkendali. Seruan PB SEPMI dan kritik satir ini menyatu dalam satu pesan: cabut Perpol 10/2025 sekarang juga. Kembalikan POLRI pada fungsinya sebagai pelayan rakyat, bukan pemburu jabatan. Supremasi konstitusi harus ditegakkan, demi menjaga Indonesia sebagai negara hukum sejati, bukan negara polisi.