Republiktimes.com, Berbicara tentang keadilan, ada kelindan dua tema yaitu penegakan hukum dan rasa keadilan. Keduanya saling mengisi ruang berharap titik keseimbangan. Walaupun mungkin ada benarnya pandangan bahwa menegakkan keadilan itu serupa garis asimtot: garis imajiner yang grafiknya mendekati tetapi tidak pernah menyentuh atau berpotongan. Hanya mampu mendekati keadilan namun sejatinya tak pernah mampu menyentuhnya.
Dalam dunia perpajakan, penegakan hukum dan rasa keadilan ini dapat dijembatani dengan komunikasi yang efektif dan informasi yang memadai agar wajib pajak memahami hak dan kewajibannya dalam perpajakan. Terlebih saat terjadi sengketa pajak.
Sengketa pajak sering terjadi karena perbedaan persepsi dan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan Petugas Pajak. Baik dalam pemeriksaan pajak atau pada tindakan pengawasan kepatuhan perpajakan lainnya. Perbedaan ini tidak semata-mata karena cara pandang yang berbeda antara kedua belah pihak namun juga karena ketidaktahuan dan kesadaran Wajib Pajak atas pentingnya memahami hak dan kewajiban perpajakannya.
Sebagai contoh saat pembahasan akhir pemeriksaan Wajib Pajak salah memahami makna nilai yang disetujui dengan nilai ketetapannya. Sehingga berpikir bahwa ketetapan itu sebesar yang disetujui, saat tersadar Wajib Pajak sudah terlambat untuk mengajukan keberatan atas ketetapan pajak tersebut. Padahal terdapat perbedaan antara nilai yang disetujui saat pembahasan akhir dan apa nilai ketetapan itu. Nilai yang disetujui wajib pajak ini terkait berapa yang dapat diajukan keberatan. Karena Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Paling tidak ada beberapa pintu yang masih terbuka saat Wajib Pajak ada dalam sengketa pajak. Pintu tersebut adalah upaya hukum yang tersedia antara lain: keberatan, gugatan, banding dan peninjauan kembali.
Pintu pertama adalah keberatan. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.
Sedangkan gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Dengan syarat pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. Hukum Acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU Pengadilan Pajak.
Sebagai tambahan masih ada dua pintu lain berupa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak.
Memahami bahwa masih ada pintu yang terbuka saat sengketa pajak ini bisa menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak atas hak dan kewajiban perpajakannya. Paling tidak menjadi salah satu batu bata dalam bangunan besar pajak yang berkeadilan di negeri tercinta ini.
Penulis,
Nugroho Putu Warsito
Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Muda



