Yogyakarta, Republiktimes.com – Dalam salah satu ayat Alquran, kita dianjurkan untuk berislam secara kaffah. Misalnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 208, yang menyebutkan bahwa, “Hai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam secara menyeluruh. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”
Atas dasar itu, Prof. Amir Mu’allim selalu menyampaikan bahwa kita harus mengamalkan Islam secara komprehensif. Jangan setengah-setengah dan meninggalkan setengah. Bahkan menurut beliau, mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian, itu bertentangan dengan semangat Islam.
Pemikiran itu juga didukung dengan argumen-argumen lain. Misalnya, bahwa Islam telah mengatur segala hal. Karena itu, dalam perspektif metodologi hukum, segala sesuatu dapat ditemukan penjelasannya dalam sumber hukum Islam.
Lalu, apa sumber hukum Islam itu? Menurut beliau, sumber hukum Islam adalah Alquran dan al-Sunnah. Adapun di luar itu, hanya dijadikan sebagai pertimbangan dalam merumuskan hukum. Artinya, jika ada ulama yang menganggap Ijma’ atau qiyas sebagai sumber hukum, beliau tidak. Karena itu, dalam beristimbat hukum, kita perlu kembali pada dasar-dasar teks sumber, yaitu Alquran dan al-Sunnah.
Pertanyaannya adalah, apakah kita mampu menerapkan Islam secara kaffah? Tentang ini, Guru Besar Universitas Islam Indonesia tersebut menjelaskan bahwa Islam itu mudah. Sehingga, dengan asumsi bahwa agama itu mudah, maka setiap orang dapat dan mampu mengerjakannya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalankannya.
Konsep agama itu mudah didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa, “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam.”
Konsekuensi dari itu, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif dan mudah, kita harus juga memperhatikan hal-hal kecil dalam keseharian kita. Misalnya, bagaiman kita masuk dan keluar rumah, bagaimana kita memakai dan menanggalkan sandal atau pakaian dan seterusnya. Itu semua telah diatur dalam Islam, dan relatif mudah dikerjakan. Hal-hal semacam ini adalah upaya untuk menerapkan Islam yang kaffah.
Dalam rangka itu, yaitu menerapkan Islam yang kaffah, kita juga dituntut untuk saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-‘Asr yang menyebutkan bahwa, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Lalu, bagaimana jika konsep penerapan Islam kaffah ini dihadapkan dengan konsep negara bangsa? Lebih tepatnya, apakah konsep penerapan Islam kaffah bertentangan dengan negara bangsa? Dalam konteks hukum, apakah hukum Islam bertentangan dengan hukum positif?
Seharusnya tidak ada pertentangan. Namun, jika ada satu aspek yang bertentangan, maka kita perlu mendialogkan hukum Islam dan hukum positif secara komprehensif. Ini adalah salah satu upaya dalam mewujudkan Islam kaffah. Dan ini adalah pekerjaan kita semua. Para akademisi, para intelektual, dan para negarawan.
Dalam kasus syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa, itu adalah upaya penerapan atau bahkan penegakan Islam yang kaffah. Meskipun, itu dilakukan belum secara komprehensif. Namun, sebagai sebuah upaya, kita perlu mendorong itu. Bukan malah mereduksi. []
M. Khusnul Khuluq/Mahasiswa Hukum Islam Program Doktor (HIPD) UII Yogyakarta