Republiktimes.com – Badan Gizi Nasional (BGN) berambisi untuk menambah anggaran terkait realisasi pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyampaikan, bahwa lembaga yang dipimpinnya, masih membutuhkan dana tambahan Rp 50 triliun, untuk mendukung Program MBG hingga penghujung tahun ini.
Hal tersebut pun mendapatkan kritik keras dari Martin Hadiwinata, selaku Koordinator Nasional FIAN Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut sangat tidak tepat, mengingat persoalan anggaran yang masih bermasalah.
“Ini tidak tepat karena persoalan serapan anggaran saja masih bermasalah. Data serapan anggaran yang muncul ke publik hingga Juni adalah Rp 5 triliun, dengan penerima manfaat baru mencapai 5.560.648 orang. Ini sudah tengah tahun sementara belum sampai setengah dari anggaran yang di tetapkan pemerintah sendiri,” ujar Martin, saat dihubungi, pada Kamis (10/7/2025).
“Persoalannya adalah perencanaannya yang bermasalah karena nafsu untuk langsung diterapkan secara “universal”. Padahal kalau berbicara Hak atas Pangan dan Gizi, pemerintah harusnya melaksanakan proyek MBG secara bertahap, secara progresif,” sambungnya.
Pernyataan tersebut senada dengan informasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), di mana tercatat realisasi anggaran Program MBG baru mencapai Rp 5 triliun hingga semester I/2025. Realisasi itu setara 7,1% dari total pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 71 triliun.
Selain itu, Martin juga turut menyoroti kejadian-kejadian yang masih saja terus terjadi, dalam pelaksanaan Program MBG, seperti keracunan. Di mana berdasarkan informasi dari Tim Cek Fakta Tempo (sejak 6 Januari-15 Mei 2025), total terdapat 1.602 orang keracunan atau 0,045% dari jumlah penerima manfaat, yang terjadi di 16 kabupaten atau kota yang tersebar di 10 provinsi.
“Keracunan akibat MBG ini terkait tata kelola proyek MBG. Model komando dan sentralisasi proyek MBG ini berdampak kepada keracunan. Baiknya, proses pengadaan pangan MBG dilakukan secara desentralisasi di tingkat sekolah. Agar proses masak dan distribusi pangan tidak terlalu lama dan jauh untuk bisa disantap oleh siswa. Dan itu juga bisa mendorong pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar sekolah dan juga civitas sekolah,” ungkapnya.
Terakhir, Martin menyampaikan, bahwa Program MBG dinilainya masih banyak perlu evaluasi, ketimbang dengan penambahan anggaran.
“Ini menunjukkan juga perencanaan pemerintah dalam proyek MBG tidak mampu pelaksanaan yang baik. Bahkan bisa jadi wilayah Jawa Barat tidak membutuhkan intervensi jika merujuk kepada peta kerawanan pangan (lihat link ini: https://fsva.badanpangan.go.id/). Selain itu, ini juga menunjukkan minat pelaku pangan yang rendah untuk mengikuti proyek MBG, berkaca dari model sistem reimburse yang bermasalah. Juga ada kecenderungan terjadinya dugaan korupsi dalam penunjukkan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi),” pungkasnya.
Untuk diketahui, saat ini penerima MBG baru mencapai 5.560.648 orang dengan 1.861 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menargetkan penerima MBG mencapai 82,9 juta orang di tahun ini.
Penulis: Ricky Ibrahim