Jakarta, Republiktimes.com – Agenda moderasi beragama seakan menempatkan agama sebagai sumber masalah. Agama dituduh sebagai sumber ekstremisme. Lantaran orang-orang beragama secara tidak moderat. Sehingga perlu disuapi modul moderasi beragama.
Jujur. Saya tidak terlalu tertarik dengan hal-hal semacam ini. Tapi, karena istilah itu terus diucapkan, itu sangat mengganggu batin saya sebagai seorang yang beragama.
Agenda moderasi beragama seakan menganggap orang-orang yang beragama itu bodoh, lantaran tidak bisa beragama secara moderat.
Ini mirip dengan istilah radikalisme yang juga selalu dialamatkan pada orang beragama. Seakan agama sumber radikalisme. Atau yang lebih parah lagi adalah terorisme. Seakan terorisme itu berasal dari agama.
Sialnya, hal-hal yang buruk itu selalu dialamatkan pada Islam. Seakan Islam itu sumber masalah. Mulai dari radikalisme, terorisme, ekstremisme, intoleransi dan berbagai hal buruk lainnya.
Jika berbagai hal buruk itu selalu dialamatkan pada Islam, tampaknya ini pekerjaan orang-orang atau pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam. Dengan itu, Islam hendak disudutkan. Ini terbaca secara gamblang.
Tentang moderasi beragama di Indonesia, ini lebih lucu. Mengapa? Karena dengan adanya agenda moderasi beragama, artinya Negara ikut campur dalam hal privat.
Dalam perspektif HAM, hak untuk beragama adalah negative right. Artinya, semakin negara ikut campur, itu semakin buruk. Dari sini, tampak bahwa Negara gagal untuk mengerti persoalan HAM.
Kelucuan yang kedua, ada “cuan” di balik agenda moderasi beragama itu. Jumlahnya lebih dari 3 triliun. Tampaknya, ini yang membuat agenda moderasi beragama ini terus dilestarikan. Dari sini, tampak bahwa perilaku para aktor politik kita seperti kumpulan bayi yang berebut mainan.
Sandiwara ini akan terus berlangsung, selama kultur politik kita tidak memiliki kecerdasan yang cukup tentang HAM. Juga selama belum bisa membedakan mana persoalan publik dan mana persoalan privat. Dan selama kumpulan bayi itu terus berebut mainan, agenda moderasi beragama akan terus dipelihara.
Kami orang-orang beragama, terutama Muslim, cukup mengerti bagaimana beragama secara moderat. Dan kalaupun ada sebagian kecil yang kurang mengerti, mereka terus belajar. Itu urusan kami untuk membuat mereka mengerti. Bukan dengan cara menjadikan Islam sebagai kambing hitam.
Justru, yang paling penting saat ini adalah agenda moderasi berpolitik. Perilaku politik (baca: kebijakan politik) yang justru membuat publik gaduh, itu adalah indikasi perlunya dilakukan moderasi.
Berpolitik harusnya menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Namun, jika yang terjadi justru menghasilkan penderitaan, itu adalah indikasi kuat perlunya gerakan moderasi berpolitik, alih-alih moderasi beragama.[]
M. Khusnul Khuluq/Mahasiswa Hukum Islam Program Doktor (HIPD) UII Yogyakarta