Apa Peran Bank Daerah Terhadap Perekonomian di Daerah?

Yogyakarta, Republiktimes.com – Beberapa kali saya bertemu dengan masyarakat kecil dan para pelaku usaha, sering muncul pertanyaan yang menggelitik: apa sebenarnya peran Bank Daerah dalam mendorong perekonomian lokal? Banyak dari mereka merasa keberadaan bank milik daerah seperti tak terasa di tengah kebutuhan akses permodalan yang tinggi, terutama bagi pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.

Dalam sebuah pemberitaan daring, disebutkan bahwa Bank Daerah, khususnya Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti Bank BPD DIY, sejatinya memiliki peran strategis sebagai agen pembangunan dan motor penggerak ekonomi daerah. Fungsi ini diwujudkan melalui penyaluran kredit, terutama untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta kontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan begitu, BPD semestinya menjadi jembatan antara kebijakan pembangunan ekonomi daerah dan kebutuhan riil masyarakat pelaku usaha.

Namun, yang menjadi persoalan adalah seberapa nyata peran itu dirasakan masyarakat? Banyak yang mengeluhkan proses birokrasi yang rumit, akses pembiayaan yang belum merata, hingga keberpihakan yang dianggap masih minim. Jika Bank Daerah benar-benar ingin menjadi tumpuan perekonomian lokal, maka transparansi, reformasi layanan, dan keberanian berinovasi adalah keniscayaan. Bank Daerah tidak boleh hanya hadir sebagai simbol kepemilikan daerah, melainkan harus menjadi instrumen aktif dalam menciptakan keadilan ekonomi di wilayahnya.

Mengapa Banyak Pelaku UMKM Masih Tersisih dari Akses Kredit BPD?

Di atas kertas, Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki mandat besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, salah satunya dengan memberikan pembiayaan kepada sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun kenyataan di lapangan tidak selalu seindah narasi resmi. Banyak pelaku UMKM masih kesulitan mengakses kredit dari BPD karena berbagai kendala administratif dan struktural. Persyaratan agunan, kelengkapan dokumen legalitas usaha, hingga ketidaksesuaian skema pembiayaan menjadi penghalang utama.

Sebagian besar UMKM, terutama yang berada di sektor informal atau belum berbadan hukum, merasa terpinggirkan dalam sistem perbankan konvensional termasuk BPD. Padahal, mereka memiliki potensi besar dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi lokal. Sayangnya, pendekatan BPD masih cenderung konservatif, mirip dengan bank umum lainnya yang sangat mengandalkan analisis risiko berbasis agunan dan histori kredit, bukan pada prospek usaha yang sedang berkembang.

Ketimpangan ini menunjukkan perlunya transformasi mendalam dalam cara BPD melihat dan melayani pelaku UMKM. Pendekatan berbasis pendampingan usaha, kemitraan dengan koperasi atau lembaga keuangan mikro, serta inovasi produk pembiayaan berbasis karakter usaha bisa menjadi jalan keluar. Jika tidak, peran BPD akan terus dipertanyakan: apakah benar hadir untuk rakyat kecil, atau hanya sekadar institusi keuangan milik daerah tanpa arah keberpihakan yang jelas.

Kontribusi Bank Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sebagai lembaga keuangan milik pemerintah daerah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) memiliki peran strategis dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu kontribusi langsung BPD terhadap PAD adalah melalui pembagian dividen dari keuntungan usaha yang dicapai setiap tahun. Semakin besar kinerja laba BPD, maka semakin besar pula setoran dividen yang masuk ke kas daerah. Hal ini menjadi sumber pendapatan non-pajak yang penting bagi pemerintah daerah untuk mendukung pembiayaan pembangunan.

Selain dari dividen, kontribusi tidak langsung BPD terhadap PAD juga tampak dalam perannya mendukung pertumbuhan sektor ekonomi produktif, khususnya UMKM dan sektor publik. Ketika BPD menyalurkan kredit produktif secara efektif, maka akan berdampak pada peningkatan aktivitas ekonomi, penciptaan lapangan kerja, serta tumbuhnya usaha yang nantinya berkontribusi melalui pajak daerah, retribusi, dan bentuk pungutan legal lainnya. Peran ini menjadikan BPD sebagai katalisator fiskal daerah yang bisa memperluas basis penerimaan PAD.

Namun demikian, kontribusi BPD terhadap PAD sering kali belum optimal. Tidak sedikit daerah yang masih mengandalkan PAD dari sektor konsumtif seperti pajak hiburan atau parkir, sementara potensi dari penguatan BPD belum dimaksimalkan. Tantangannya adalah bagaimana mendorong profesionalisme dan efisiensi operasional BPD agar mampu bersaing, mencetak laba berkelanjutan, dan pada akhirnya memberi kontribusi nyata terhadap kemandirian fiskal daerah. Tanpa itu, BPD hanya akan menjadi beban belanja tanpa nilai tambah yang signifikan.

Reformasi BPD: Menjawab Tantangan Ekonomi Lokal

Di tengah dinamika perekonomian daerah yang semakin kompleks, tuntutan terhadap Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk berbenah menjadi semakin mendesak. Tantangan seperti rendahnya akses UMKM terhadap pembiayaan, lemahnya inovasi produk, hingga kontribusi yang belum maksimal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengindikasikan perlunya reformasi menyeluruh dalam tata kelola dan orientasi bisnis BPD. Reformasi ini harus dimulai dari pembenahan internal—peningkatan profesionalisme SDM, penguatan sistem manajemen risiko, serta perbaikan dalam tata kelola yang transparan dan akuntabel.

Lebih dari sekadar institusi keuangan milik daerah, BPD seharusnya menjadi lokomotif pembangunan ekonomi lokal. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma: dari bank yang bersifat administratif menjadi bank yang progresif, adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, dan berpihak pada sektor produktif. Inovasi layanan digital, kolaborasi dengan koperasi dan lembaga mikro, serta skema pembiayaan berbasis karakter dan potensi lokal harus mulai dikembangkan. Dengan begitu, BPD tidak hanya menyalurkan kredit, tetapi juga menciptakan ekosistem ekonomi daerah yang sehat dan berkelanjutan.

Sebagai penutup, masa depan BPD sangat ditentukan oleh kemauan politik dan keberanian manajemen untuk melakukan reformasi struktural dan kultural. Jika dikelola dengan visi yang kuat, BPD dapat menjadi instrumen strategis dalam menjawab tantangan ekonomi lokal, memperkuat kemandirian fiskal, dan memperluas kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, tanpa reformasi, BPD akan terjebak dalam status quo yang stagnan dan gagal menjawab harapan publik yang semakin tinggi.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI IIQ An Nur dan Peneliti di Pusat Kajian & Analisis Ekonomi Nusantara