Pasca keputusan Partai NasDem meminang Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai pendamping Anies Baswedan di Pemilu 2024, Partai Demokrat memutuskan angkat kaki dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Demokrat yang tak berhasil mendudukkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di pangkuan koalisi merasa dihianati.
Apakah Siasat Partai Demokrat Tepat?
Partai Demokrat mestinya sadar diri bahwa ia sedang bermain di kubangan politik yang moralitas bukanlah tujuan utama. Merasa tersakiti, dihianati dan terbuang dengan harapan mendapat simpati publik, adalah tindakan yang salah kaprah.
Firenze Niccolo Machiavelli dalam catatanya di buku The Prince mengatakan, bahwa politik harus dipisahkan dengan moral dan etika. Baginya, mencapai tujuan adalah hal yang lebih penting. Memang pernyataannya itu terdengar tendensius. Itu sebabnya Machiavelli cukup kontroversial karena dianggap menjadi kiblat para politikus untuk melakukan segala cara agar tujuan tercapai.
Seyogyanya Partai Demokrat harus paham konsep yang disampaikan Machiavelli tersebut. Artinya nama AHY kurang memenuhi pokok-pokok untuk mencapai tujuan utama, yaitu kemenangan di Pilpres 2024. Sehingga meskipun dianggap mengesampingkan moral dengan memberi harapan palsu kepada Demokrat dan AHY secara khusus, namun itu mesti dilakukan.
Konsep Machiavelli ini juga dikenal sebagai metode “Medis”. Ketika ada virus yang dapat menghambat pertumbuhan, hal tersebut harus cepat-cepat disingkirkan. Dari pada luka terus bergerilya, anggota tubuh yang terinfeksi mesti segera diamputasi. Itu juga mungkin alasan dipilihnya Hotel Majapahit (Yamato) di Surabaya menjadi tempat deklarasi duet Anies-Cak Imin. Sebab di tempat tersebut, terdapat insiden perobekan bendera Belanda dengan menyayat warna birunya, dan menjadi bendera Indonesia.
Mawas Diri
Demokrat mestinya mawas diri, bahwa kekuatan mesin partainya tak sedigdaya dulu, saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjabat sebagai presiden. Di Pileg terahir 2019 lalu, Demokrat terseok-seok di peringkat tujuh dengan hanya mampu mengumpulkan 7.7% dari total suara yang dihimpun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perolehan suara Demokrat tertunduk lesu di bawah PKS (8.21%), Nasdem (9.05%) dan PKB (9.69%).
Demokrat juga telah berpuasa selama sepuluh tahun lamanya, tanpa jabatan apapun di pemerintahan. Ini bukan karena Demokrat mengambil sikap untuk menjadi oposisi. Tapi lebih disebabkan karena Demokrat tidak diterima di dalam kabinet Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sebab di 2019 lalu, beberapa kali AHY sudah mencoba melakukan manuver mendekati Pemerintahan Jokowi. Mereka berharap mendapat ruang seperti Gerindra atau PAN. Tapi hasilnya nihil.
Meski nama AHY masuk ke dalam jajaran calon wakil presiden (cawapres) potensial di sejumlah temuan survei nasional, namun ia tidak cukup kharismatik. AHY tidak memiliki segmentasi pemilih yang konkrit. Basis masanya di Jawa Timur (Jatim) kurang mampu menyaingi nama-nama yang juga kuat di sana, seperti Khofifah Indar Parawansa atau Erick Thohir. Padahal suara di Jatim sangat dibutuhkan untuk menambal kepincangan kekuatan Anies.
Iming-iming Cak Imin
Elektabilitas Cak Imin memang tidak semoncer figur-figur cawapres lainnya berdasarkan pelbagai simulasi yang dilakukan lembaga survei-survei nasional. Bahkan jika diduelkan dengan AHY, kredibilitas Cak Imin masih jauh tertinggal.
Pada survei terbaru Litbang Kompas 27 Juli-7 Agustus 2023, elektabilitas AHY berada di angka 5.1%, sementara Cak Imin hanya 0.4%. Begitupun temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI), pada simulasi tertutup 10 nama, AHY neraih elektabilitas 1.6% dan Cak Imin 0.7%.
Angka yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga survei tersebut memang menjadi acuan dalam menentukan ke mana kapal akan berlayar, tapi tidak satu-satunya. Secara elektabilitas survei, AHY boleh unggul, namun secara fungsi strategis, Cak Imin lebih dibutukan oleh Anies Baswedan.
Cak Imin memiliki basis pemilih yang konkrit dan nyata. Partai yang dipimpinnya saat ini tidak bisa dilepaskan dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Meski pernyataan ini sering ditentang oleh pelbagai pihak termasuk petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akan tetapi nyatanya PKB selalu meraih suara tinggi, khususnya di Jatim yang notabene-nya adalah kandang NU.
Suara pemilih PKB dan Cak Imin sangat kontras dengan loyalis yang dimiliki oleh Anies. Jika suara tersebut berhasil disatukan, otomatis bakal menambah kekuatan keduanya. Lain halnya dengan AHY, meski elektabilitasnya lebih tinggi dibanding Cak Imin, namun suara pemilihnya bersinggungan dengan Anies. Atau sederhanannya pemilih Anies adalah pemilih AHY juga. Maka secara strategis bisa disimpulkan jika Cak Imin bisa lebih mendongkrak suara Anies dibandingkan AHY.
Sikap Demokrat
Kita harus hargai sikap Demokrat yang mengambil jalan untuk minggat dari KPP. Meski jika dihitung dengan cermat, akan lebih bijaksana seandainya Demokrat memilih untuk menerima dan legowo dengan terbentuknya pasangan Anies-Cak Imin.
Situasi utak-atik pasangan di menit-menit injurytime bukanlah hal yang baru. Pada Pilpres 2019 lalu, publik cukup digegegerkan tatkal Prof Mahfud MD gagal mendampingi Presiden Jokowi di periode keduanya. Namun Prof Mahfud MD paham akan kekuatan strategis yang lebih dibutuhkan saat itu.
Sejauh apapun Demokrat akan melangkah, mendudukkan AHY sebagai cawapres bukanlah pekerjaan yang mudah. Hengkang dari KPP ini justru berpotensi membuat laju Demokrat di Pilpres 2024 akan semakin berat.
Demokrat bisa saja diterima oleh Gerindra dan kolega atau bahkan PDI-P. Namun keberadaanya hanya akan dianggap sebagai bayangan. Karena tanpa Demokrat pun, koalisi-koalisi yang ada saat ini tetap bisa berjalan.
Apakah di pesta demokrasi 2024 Demokrat sekadar akan menjadi figuran? Atau bahkan hanya menjadi penonton?
Ijalisme