Yogyakarta, Republiktimes.com – Melihat perkembangan politik yang terjadi Jakarta, di mana Anies Baswedan ditinggal oleh koalisi partai-partai yang sebelumnya mendukungnya (PKS, PKB, Nasdem), kami redaksi Republik Times berkesempatan mewawancarai Dr. Yusdani, M.Ag., Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta. Berikut wawancara kami dengan beliau:
Bagaimana Anda melihat keputusan beberapa partai politik Islam yang tidak lagi mendukung Anies Baswedan?
Dari sudut pandang Anies, ini sebuah kelemahan karena tidak punya kendaraan politik. Sebaik apa-pun kandidat, kalau bukan dari politik agak sulit. Ini kelemahan di Indonesia. Partai-partai yang sebelumnya kita mengira menjadi aspirasi Masyarakat muslim, ternyata saat ini terjebak Pragmatisme.
Jadi ada pergeseran idealisme Partai Politik?
Sepertinya begitu kalau kita melihat realitas perpolitikan di Jakarta saat ini.
Apakah keputusan tersebut lebih dipengaruhi oleh pertimbangan pragmatis atau masih ada landasan ideologis di baliknya? Misal PKS, misalnya selalu berlindung di atas nama dakwah ketika membuat Keputusan?
Keputusan tersebut lebih banyak berorientasi pada pertimbangan pragmatis sebab selama 10 tahun terakhir ini, PKS sebagai contoh konsisten dengan nilai-nilai ideologis idealis, rupanya PKS membaca situasi perpolitikan selama ini tidak merasa betah dengan komitmen ideologis sebagai partai dakwah untuk mensejahterakan rakyat. Pragmatisme politik ini memang sebuah pilihan sulit bagi PKS, tetapi itulah namanya politik. Semua bisa berubah sesuai kepentingan.
Bagaimana Anda menilai dampak keputusan ini terhadap basis pemilih yang mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai Islam? Kita tahu, jika PKS menang di Jakarta karena mendukung Anies sebagai Presiden di pemilu 2024?
Bisa terjadi, meski konstituen pemilih PKS itu cukup solid. Tapi kita juga melihat fakta pemilih di Jakarta ini kan didominasi oleh pemilih yang rasional, karena dari kelas menengah ke atas. Di satu sisi jika melihat PKB dan PKS bisa berkoalisi dengan partai-partai non agama, tapi di sisi lain cukup mengecewakan karena harusnya mereka istiqomah dengan idealisme dan demokrasi. Tapi kita tidak tau ada fakta apa di balik keputusan itu?
Bagaimana partai politik Islam dapat menjaga keseimbangan antara idealisme dan kebutuhan untuk tetap relevan secara politik?
Kompromi itu dibutuhkan dalam titik tertentu, tapi harusnya tidak mengorbankan idealisme terutama persoalan ideologis. Apakah partai politik Islam sekarang sedemikian parah, sekarang hanya memikirkan dapat ini atau dapat itu. Saya menduga koalisi KIM Plus ini adalah koalisi yang sesaat saja. Ada indikasi ini hanya untuk mencegah Anies bisa maju lagi di Pemilu 2029 karena ada kepentingan Prabowo atau Jokowi di 2029.
Fenomena pragmatisme PKS sebagai contoh juga terjadi seperti di Provinsi Sumatera Selatan, merapat kepada pasangan calon yang sebenarnya kurang tepat dalam perspektif ideologis idealis PKS tetapi itulah faktanya. sehingga jika PKS sebagai contoh partai Islam sekarang ini, apalagi partai islam lainnya betul betul tidak kuat sendirian berideologis.
Bagaimana peluang Anies – Rano Karno yang isunya akan didorong oleh PDIP, apalagi hasil survey terakhir tetap Anies Baswedan suaranya yang cukup tinggi meski melawan Ridwan Kamil, Ahok, atau Kaesang Pangarep Sekalipun?
Bisa saja, tapi ini terkait persoalan waktu. Karena secara Partai, suara kursi PDIP kurang. Solusinya maju dr jalur independent, apakah waktu ini cukup sementara tanggal 27 sudah pendaftaran calon. Harusnya PDIP jika ingin melawan, tentu bisa mendorong pasangan ini.
Bagaimana anda melihat masa depan Partai Politik Islam ke depan?
Konstituen muslim saya kira akan tetap konsisten dengan pertimbangan idealis dan ideologis. Ke depan tentu akan jadi bumerang bagi partai partai Islam. Karena tidak mempertimbangkan suara arus bawah (grass root), tapi hanya kepentingan partai politik semata yakni kekuasaan.[]
Sumber: Wawancara langsung, tanggal 20 Agustus 2024.