Republiktimes.com – Sekolah Vokasi IPB University melaksanakan Program Pengabdian kepada Masyarakat BIMA 2025 di Sekolah Inklusi Sinar Indonesia, Tanah Sareal, Kota Bogor. Program ini mengusung tema “Pelatihan Bercocok Tanam di Lahan Sempit dengan Metode Urban Farming menggunakan Media Hydrogel dan Vertikultur”, dan menjadi salah satu langkah nyata kampus pertanian terkemuka itu dalam mendukung pendidikan inklusif, pemberdayaan masyarakat, sekaligus memperkuat ketahanan pangan keluarga.
Kegiatan ini melibatkan dosen, alumni, serta mahasiswa Sekolah Vokasi IPB University yang hadir langsung untuk mendampingi guru, staf, dan orang tua siswa. Suasana hangat dan penuh antusias terasa sejak pagi ketika para peserta berkumpul di Gedung Sekolah Sinar Indonesia, di mana meja-meja telah dipenuhi dengan contoh media tanam hidrogel berwarna cerah, pot vertikultur, serta bibit sayuran segar.
Ketua tim, Dr. Doni Sahat Tua Manalu, SE., M.Si, menjelaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teknis, melainkan bagian dari skema Pemberdayaan Berbasis Masyarakat (BIMA) yang dirancang untuk memberi dampak jangka panjang. Menurutnya, urban farming bisa menjadi pintu masuk untuk menumbuhkan kesadaran lingkungan dan semangat kemandirian sejak usia dini.
“Pelatihan ini bertujuan memberikan pemahaman dan keterampilan kepada guru, staf, dan orang tua siswa dalam memanfaatkan teknologi bercocok tanam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ini adalah wujud nyata kontribusi IPB University dalam mendukung pendidikan inklusif sekaligus mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ujar Dr. Doni.
Ia menambahkan bahwa pendekatan urban farming dipilih karena relevan dengan kondisi masyarakat perkotaan yang umumnya memiliki keterbatasan lahan. Dengan media hidrogel dan sistem vertikultur, keterbatasan itu dapat diatasi tanpa kehilangan esensi bercocok tanam. “Kami ingin menunjukkan bahwa bertani itu bisa sederhana, bersih, dan menyenangkan. Bahkan di rumah dengan lahan terbatas sekalipun,” tambahnya.
Pelatihan ini mendapat sambutan istimewa dari pihak sekolah. Kepala TK Sinar Indonesia, Dian Nur Oktaviani R., S.Pd, menyampaikan bahwa program ini membawa perspektif baru bagi para guru dan orang tua. Selama ini, bertani identik dengan sawah, lumpur, dan pekerjaan berat. Namun setelah mengikuti pelatihan, banyak yang menyadari bahwa bercocok tanam bisa dilakukan dengan cara modern yang justru ramah untuk anak-anak.
“Kami sangat senang dan kagum karena Tim Dosen Sekolah Vokasi IPB University hadir dan menjadikan kami mitra. Dari kegiatan ini kami jadi paham bahwa bertani tidak harus selalu di sawah yang kesannya kotor. Ketahanan pangan dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan, hingga terakumulasi menjadi ketahanan pangan negara,” tutur Dian dengan penuh semangat.
Menurutnya, pelatihan seperti ini juga relevan dengan visi sekolah inklusi, di mana seluruh siswa, tanpa memandang keterbatasan fisik maupun kognitif, dapat ikut belajar bercocok tanam. “Bagi anak-anak, pengalaman menyentuh media tanam hidrogel yang kenyal dan berwarna saja sudah menjadi pembelajaran sensorik yang menarik,” tambahnya.
Bagian yang paling dinanti dari pelatihan adalah sesi praktik langsung. Dalam sesi ini, peserta diperkenalkan pada media tanam hidrogel, yaitu butiran kecil yang mampu menyerap dan menyimpan air dalam jumlah besar. Media ini sangat membantu bagi masyarakat perkotaan yang sulit mengatur jadwal penyiraman tanaman.
Materi disampaikan oleh Henny Rusmiyati, SP., M.Si, dosen Program Studi Teknologi Industri Benih. Ia dengan sabar memperlihatkan cara menanam bibit sayuran pada media hidrogel, kemudian menyusunnya ke dalam rak vertikultur yang disiapkan di sudut ruangan.
“Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat tumbuh semangat bercocok tanam serta menumbuhkan jiwa petani muda. Kita ingin siswa tahu bahwa bertani itu menyenangkan,” jelas Henny sambil memperlihatkan hasil tanaman vertikultur yang hijau segar.
Henny juga menekankan bahwa metode hidrogel dan vertikultur bukan hanya solusi praktis untuk lahan sempit, tetapi juga sarana edukasi yang efektif. Anak-anak bisa belajar tentang siklus hidup tanaman, pentingnya air, serta manfaat lingkungan yang sehat.
Selain guru, keterlibatan orang tua juga menjadi fokus dalam kegiatan ini. Para orang tua yang hadir terlihat antusias mencoba teknik menanam dengan hidrogel. Beberapa bahkan langsung membayangkan bagaimana sistem ini bisa diterapkan di halaman rumah atau di pot kecil di dapur.
Harries Marithasari, S.S., M.MPd, menegaskan bahwa keberhasilan program akan sangat ditentukan oleh keberlanjutan praktik di rumah maupun sekolah. “Diharapkan para guru, staf, dan orang tua siswa dapat memahami praktik bercocok tanam sehingga pada pelatihan berikutnya akan lebih mudah dalam mendampingi siswa,” katanya.
Ia menambahkan bahwa guru dan orang tua adalah agen perubahan yang akan menularkan kebiasaan baru kepada anak-anak. Jika mereka terbiasa dengan kegiatan menanam, maka anak-anak pun akan menirunya. “Anak-anak belajar paling cepat dari contoh. Jika melihat orang tua mereka menanam, mereka akan ikut menanam. Dari situlah nilai ketahanan pangan mulai terbentuk,” pungkasnya.
Kegiatan ini bukan hanya sekadar pelatihan teknis, melainkan juga simbol kolaborasi antara dunia pendidikan tinggi dan sekolah inklusi. IPB University berusaha menunjukkan bahwa ilmu pertanian bisa dikemas secara sederhana agar mudah dipahami siapa saja, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Dr. Doni menekankan bahwa pengabdian masyarakat seperti ini merupakan bagian dari misi besar IPB University untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ia percaya bahwa ketahanan pangan nasional hanya akan tercapai jika dimulai dari unit terkecil, yakni keluarga. “Urban farming menjadi cara sederhana untuk mengajarkan kemandirian. Jika setiap keluarga bisa memproduksi sebagian kebutuhan pangannya, maka ketahanan pangan nasional akan semakin kokoh,” tegasnya.
Di akhir acara, peserta tampak gembira membawa pulang hasil praktik mereka. Pot kecil berisi tanaman dengan media hidrogel menjadi simbol harapan baru: bahwa pertanian bukan lagi sesuatu yang jauh, tetapi bisa dimulai dari rumah.
Para guru berencana menjadikan praktik ini sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran tematik di kelas. Sementara orang tua mengaku akan mencoba menanam sayuran dengan metode yang sama di rumah masing-masing.
Kepala sekolah, Dian, menutup dengan harapan agar program ini bisa berlanjut. “Kami berharap IPB University terus mendampingi kami. Pelatihan ini bukan hanya ilmu baru, tetapi juga motivasi bahwa kami bisa berkontribusi pada ketahanan pangan meski dari ruang lingkup kecil,” ucapnya.



