Yogyakarta, Republiktimes.com – Boikot adalah tindakan kolektif untuk menolak membeli barang atau jasa tertentu, menggunakan barang atau jasa tertentu, atau berpartisipasi dalam kegiatan tertentu sebagai bentuk protes atau sarana untuk menyuarakan aspirasi. Boikot telah banyak dilakukan dalam berbagai konteks yang berbeda. Secara umum, terdapat beberapa motivasi berbeda yang mendasari seseorang atau sekelompok orang tertentu melakukan boikot.
Ahmad Akbar Susamto, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan, secara umum, terdapat beberapa motivasi berbeda yang mendasari seseorang atau sekelompok orang tertentu melakukan boikot. “Ada yang karena nasionalisme, karena berpartisipasi, protes moral, kepercayaan relijius, empati, dan perilaku konsumen,” tambah Akbar.
“Sementara, dampak boikot sendiri di antaranya adalah: Boikot menyebabkan penurunan penjualan dan penerimaan perusahaan, boikot dapat merusak reputasi perusahaan dan kepercayaan konsumen, boikot dapat menurunkan harga saham perusahaan, penurunan penerimaan akibat boikot dapat memaksa perusahaan memotong gaji karyawan atau melakukan PHK, penurunan penerimaan penerimaan akibat boikot dapat menurunkan bisnis pemasok dan mitra,” tutup Akbar yang juga Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sleman.
Boikot harus Pakai Data
Ridho Sinto Mardaris, dengan latar belakang pengusaha menekankan pentingnya keputusan boikot yang didasarkan pada data yang akurat dan analisis mendalam. Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema: “Boikot Israel: Antara Komitmen Kemanusiaan dan Politik Bisnis,” yang berlangsung di Auditorium Lantai 4, Fakultas Hukum UII (9/7/2024).
Dalam pemaparannya, Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ridho Sinta Mardaris, menyoroti fenomena boikot terhadap produk atau layanan tertentu yang sering kali dipicu oleh isu-isu yang viral di media sosial. “Boikot merupakan langkah yang serius dan dapat berdampak luas terhadap perekonomian, baik bagi perusahaan yang diboikot maupun pihak-pihak yang terlibat dalam rantai pasokannya,” ujar Ridho.
Ridho menambahkan bahwa boikot tanpa dasar data yang kuat dapat merugikan banyak pihak, termasuk para pekerja yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan-perusahaan tersebut. “Keputusan untuk boikot seharusnya didasarkan pada bukti yang jelas dan analisis yang komprehensif, bukan hanya karena tekanan sosial atau informasi yang belum terverifikasi,” lanjutnya.
Ridho juga mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam menyikapi isu-isu yang berkembang di media sosial. “Kami mendukung transparansi dan akuntabilitas, namun semua tindakan harus didasari oleh informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.[]