Yogyakarta, Republiktimes.com – Perbincangan tentang stoikisme kembali menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Meskipun teman saya yang ahli dalam filsafat mengatakan bahwa pembahasan ini datang agak terlambat, sebenarnya ajaran ini telah ada sejak zaman pra-Islam. “Stoikisme pada dasarnya berkaitan dengan kebahagiaan, terutama bagi mereka yang tidak beriman kepada Tuhan. Ketika seseorang memiliki keimanan, seharusnya hatinya akan menjadi tenang. Oleh karena itu, stoikisme mungkin tidak lagi diperlukan,” ujar teman saya.
Stoikisme sendiri adalah doktrin filsafat kuno Yunani yang berkembang selama periode yang dikenal sebagai Helenistik. Masa Helenistik mencakup periode sejarah Mediterania dari tahun 323 SM (setelah kematian Alexander Agung) hingga tahun 31 SM, yang menandai penurunan kejayaan Yunani dan munculnya Kekaisaran Romawi.
Dalam tulisan ini, saya akan mengulas konsep stoikisme dalam Islam, relevansinya dalam kehidupan kita, dan bagaimana kaitannya dengan ekonomi syariah.
Stoikisme dalam Islam
Secara historis, stoikisme jauh lebih tua daripada Islam. Namun, ajaran stoikisme juga memiliki persamaan dengan ajaran Islam. Ajaran untuk selalu mengendalikan pikiran agar tetap positif mirip dengan hadis qudsi yang berbunyi: “Aku (Allah) berlaku kepada hamba-Ku sesuai dengan pandangan mereka tentang-Ku.”
Dengan merujuk pada hadis qudsi ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perlakuan Tuhan terhadap kita bergantung pada pemikiran kita tentang-Nya. Oleh karena itu, pentingnya berpikir positif sangat jelas, terutama dalam konteks Islam, di mana selain berpikir positif tentang hal-hal duniawi, kita juga harus berpikir positif tentang Tuhan. Meskipun hadis qudsi ini berbicara tentang Tuhan, pesannya juga dapat diterapkan secara umum.
Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S. al-Ra’d: 28). Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an untuk menenangkan diri adalah dengan berzikir mengingat Allah. Ketika seseorang terlalu banyak berpikir (overthinking), berzikirlah untuk mengingat Tuhan, dan ketenangan akan segera datang. Efek ketenangan ini bukan sekadar omong kosong; hal itu benar-benar terjadi selama seseorang sungguh-sungguh menghadirkan hatinya dalam berzikir, bukan melakukannya secara sembrono.
Dalam literatur klasik Islam, terdapat pemikiran yang memiliki kesamaan dengan stoikisme, yaitu ajaran sufi Syadziliyah. Meskipun ada persamaan, Syadziliyah juga memiliki perbedaannya sendiri. Stoikisme, pada dasarnya, melihat jalan logis dan bebas nilai untuk mencapai kebahagiaan, sementara Syadziliyah ketat dalam mematuhi hukum Islam dan berbasis tauhid. Stoikisme lebih sering dikaitkan dengan pemikiran Barat yang cenderung rasional dan positivistik, yang menolak aspek-aspek metafisik sebagai objek penelitian ilmiah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang menjauhnya generasi muda dari agama Islam. Selain itu, pandangan bahwa stoikisme adalah filsafat bebas nilai dapat membuat generasi muda menganggap semua agama sama. Ini adalah hal yang sangat penting bagi keyakinan seseorang.
Hubungan Stoikisme dengan Ekonomi
Tujuan utama stoikisme adalah mencapai “apatheia,” yaitu keadaan tanpa emosi. Ini bukan berarti orang kehilangan emosi, tetapi mereka tidak mengeluh atau mencari simpati saat merasa sedih atau menderita. Stoikisme mengidentifikasi empat emosi dasar dalam diri manusia: (1) Hedone (nafsu), yang timbul akibat pandangan yang keliru terhadap kenikmatan duniawi saat ini. (2) Epithumia (keinginan), yang timbul karena pandangan yang keliru terhadap kenikmatan di masa depan. (3) Lupe (kesedihan), yang timbul karena pandangan yang keliru terhadap kesalahan yang terjadi saat ini. (4) Phebos (ketakutan), yang timbul karena pandangan yang keliru terhadap bahaya di masa depan.
Melihat empat emosi yang sering muncul dalam diri manusia, diperlukan kendali dan bimbingan akal agar hidup selaras dengan akal dunia. Yang paling penting, kebijaksanaan moral harus terkait dengan rasionalitas. Stoikisme, secara teoritis, melihat segala sesuatu sebagai materi, tetapi dalam praktiknya, aliran ini bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu materi. Dengan demikian, manusia akan mencapai ketenangan batin (Nawawi, 2017, hal. 123).
Enterpreneurship (kewirausahaan) dan akuntabilitas adalah topik dalam manajemen dan akuntansi. Pemahaman terhadap keduanya dalam konteks stoikisme adalah penerapan filsafat dalam bisnis. Pemahaman ini dapat diurai menjadi strategi manajemen dan akuntansi untuk mencapai kesuksesan bisnis di tingkat global. Meskipun Barat umumnya mengadopsi filosofi kapitalisme dalam dunia bisnis, mereka juga terbuka terhadap pemikiran Timur.
Mereka mulai menggali pemahaman tentang filosofi Kaizen sebagai faktor kesuksesan orang Jepang. Mereka juga mulai menjelajahi konsep filosofi yang diterapkan oleh China mengingat prestasi ekonominya yang mengesankan. Kesadaran dunia Barat terhadap kenyataan bahwa merasa superior dalam doktrin ekonominya adalah sekadar pandangan yang keliru mulai menjadi lebih kuat. Bagi Barat, saat ini berbagai filosofi bisa diadopsi, disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Stoikisme, sebagai salah satu cabang filsafat dari Yunani kuno, pernah menjadi acuan penting bagi dunia Barat selama masa Renaisans. Namun, akhirnya, Stoikisme tergantikan oleh Kapitalisme karena dianggap kurang dinamis dalam mencapai kemajuan. Stoikisme lebih banyak diamalkan secara pribadi oleh individu Barat yang mencari ketenangan dalam hidup. Namun, dengan adanya risiko moral yang diakibatkan oleh Kapitalisme, pemikiran Stoikisme mulai muncul kembali di dunia Barat dan diterapkan dalam konteks bisnis.
Beberapa tahun yang lalu, masyarakat dihebohkan oleh skandal akuntansi perusahaan Enron di Amerika Serikat dan skandal akuntansi bank syariah yang dimiliki oleh pemerintah di Indonesia. Pandangan positivisme yang menyatakan bahwa prinsip akuntansi yang bersifat absolut mulai perlu kita pertanyakan.
Di Indonesia, Ekonomi dan Akuntansi Syariah dianggap belum cukup efektif dalam mengatasi korupsi, sehingga upaya Islamisasi ilmu hanya dianggap sebagai tindakan pragmatis belaka. Bisnis saat ini lebih mengadopsi pandangan kapitalis. Pendekatan enterpreneurship dalam kerangka kapitalisme lebih fokus pada pengejaran aspek material semata. Semua risiko yang diambil selama proses bisnis hanya dipertimbangkan dari sudut pandang rasional, tanpa mempertimbangkan aspek kehalalannya. Sementara itu, akuntabilitas dilihat secara pragmatis, dengan fokus utama pada ketersediaan laporan keuangan dan kepuasan investor. Beberapa catatan di atas, perlu menjadi renungan bagi kita semua. Allahua’lam.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa Hukum Islam Program Doktor (HIPD) UII Yogyakarta