Filsafat, Filsafat, dan Filsafat Lagi

Yogyakarta, Republiktimes.com – Awalnya saya mengira orang yang menempuh pendidikan filsafat itu jurusan yang paling aneh dan tidak jelas yang pernah saya temui. Saya bergumam, kalau lulus jurusan filsafat ini mau jadi apa ya? Jadi pemikir gitu? Bukankah kita sudah berfikir tiap hari. Tidak perlu kuliah kalau hanya berfikir. Tapi pandangan itu berubah drastis, ketika saya saat ini mengambil S3 program doktoral yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam.

Di program magister dan doktoral biasanya di awal perkuliahan kita akan diberi mata kuliah filsafat ilmu. Mengapa Filsafat ilmu? Filsafat ilmu membantu agar seseorang mampu membedakan persoalan yang ilmiah dengan yang tidak ilmiah. Filsafat ilmu memberikan landasan historis-filosofis bagi setiap kajian disiplin ilmu yang ditekuni. Filsafat ilmu memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap disiplin ilmu.

Di dalam buku legendaris “Filsafat Ilmu” karya Jujun Sumantri, hal ini terungkap mengapa filsafat ilmu begitu penting. Di dalam buku tersebut mempelajari ilmu pengetahuan, persoalan dalam filsafat, ontologi, epistimologi, aksiologi, penalaran dan logika, sarana berfikir ilmiah, manusia dan kebudayaan, ilmu dan bahasa, penulisan dan penelitian ilmiah.

Filsafat, Ibunya Ilmu Pengetahuan

Filsafat merupakan sebuah ilmu yang berkembang semenjak masa Yunani Kuno. Secara etimologi, filsafat dibagi menjadi dua kata yang diambil dari bahasa Yunani. Ada philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Maka, filsafat secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan.

Filsafat juga seringkali dikenal sebagai sebutan dari Ibu dari Segala Ilmu. Hal ini disebabkan segala sesuatu bisa dibahas di dalamnya. Tujuan utamanya adalah mencari hakikat dalam segala hal melalui dialog kritis.

Sayangnya, filsafat sudah mulai dilupakan secara perlahan. Menurut C.P. Snow, seorang dosen fisika di Universitas Cambridge, Inggris, relevansi dari filsafat semakin berkurang. Sebab Snow mengamati bahwa fakultas yang membahas tentang ilmu ini sudah mulai berkurang dari segi peminat dan fasilitas fisik di kampus pada 1950-an.

Munculnya Dr. Fahrudin Faiz, barangkali memunculkan minat untuk mengkaji lagi persoalan filsafat. Dr. Fahrudin Faiz, yang merupakan Intelektual Muslim dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kanal YouTubenya saat ini banyak digemari mahasiswa dan peminat kajian filsafat. Fahrudin Faiz dikenal dengan forum Ngaji Filsafatnya.

Menghidupkan Kembali Filsafat

Ada yang beranggapan juga di kalangan Islam jika mengkaji filsafat itu haram. Kurang lebih begini ungkapannya: “Hukum Filsafat adalah haram dan ia pintu kekafiran. Tidak ada dalam Filsafat kecuali kebodohan, pemutaran kata, dan kebingungan, dan sebuah pembahasan bertele-tele tanpa penyelesaian.”

“Bagi anda yang baru belajar Filsafat, akan kenal yang namanya Aristoteles, Phitagoras, dan semisalnya. Ilmu ini adalah kekufuran yang nyata, mengingkari Rabb, Malaikat, Rasul, Kitab, hari akhir dan takdir. Filsafat adalah seburuk-buruk ilmu.”

Tentu pendapat ini menyesatkan dan tidak bijak. Karena sejatinya filsafat berguna untuk merumuskan pertanyaan yang baik (yang menjadi awal dari ilmu) dan dengan logika, yang merupakan salah satu bagian dari filsafat, menertibkan pikiran untuk menjawab pertanyaan itu.

Di dalam Islam juga kita mengenal beberapa pemikir Islam yang dekat dengan filsafat di antaranya adalah: Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Kindi, Al-Razi, Ibnu Maskawih, Ibnu Sina, Ibnu Thufail. Juga ada kajian Filsafat Islam. Apa itu filsafat Islam? Filsafat Islam merupakan suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan dalam peradaban umat Muslim, yang berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam.

Beberapa manfaat ilmu filsafat di antaranya adalah (1). Filsafat membantu seseorang untuk memiliki pemikiran yang kritis karena mereka mampu membedakan mana yang teruji dan tidak teruji serta berdasar dan tidak berdasar. (2). Pemikiran analitis dapat terbentuk karena seseorang yang belajar filsafat akan langsung bertanya kepada hakikat suatu isu dan tahu bagaimana menjabarkannya. (3). Pemikiran akan menjadi holistik karena seseorang akan melihat sebuah masalah dalam perspektif yang menyeluruh. Wallahua’lam.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI Institut Ilmu Al Quran An Nur Yogyakarta

Share this post :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest