Yogyakarta, Republiktimes.com – Selama pandemi COVID-19 berlangsung, aplikasi TikTok menjadi platform media sosial yang sangat digandrungi oleh semua orang. Hampir semua kalangan usia menggunakan tiktok. Bahkan saat ini hampir setiap orang menghabiskan waktunya selama 24 jam untuk menggunakan tiktok.
TikTok didirikan pertama kali pada bulan Maret 2012. ByteDance telah menjadi yang terdepan dalam berinovasi dan menjadi pemain teknologi-teknologi kecerdasan buatan yang terkemuka di dunia dalam hal distribusi konten. Namun ternyata bukan TikTok socmed yang berada di nomor urut satu digunakan orang.
Dilansir dari laporan ‘Cloudflare Radar 2023 Year in Review’, merilis daftar 10 media sosial terpopuler di dunia pada tahun 2023. Menariknya, posisi pertama untuk media sosial terpopuler di dunia 2023 adalah Facebook. TikTok hanya berada di posisi kedua saja.
Dari Joget-Joget ke Marketplace
Meski begitu, TikTok mengalami perubahan yang sangat signifikan. Jika dulunya dikenal tempat live ‘maaf’ perempuan yang jualan aurat demi dapat saweran dan aplikasi joget-joget, saat ini ada pergeseran yang luar biasa.
Banyak pebisnis yang konsen di internet/digital marketing juga menyasar TikTok. UMKM-UMKM juga mulai membidik ke TikTok. Mereka berjualan melalui sistem live. Bahkan beberapa brand lokal bisa live berkali-kali dalam sehari (Visval, Geof Maxx, Rown Division, dll.)
Fakta menariknya, jam live mereka (UMKM) ini kadang di jam jam ketika orang istirahat. Waktu saya iseng lihat di jam 02.00 pagi dini hari, ternyata viewernya banyak juga. Bisa ratusan, dan banyak juga transaksinya.
TikTok Bikin Toxic, Perlu Filter dan Sikap Bijak
Meski ada pergeseran yang positif, TikTok ini banyak damagenya juga. Bagaimana tidak, orang bisa buat konten apa saja di sana. Motivator/Konsultan Agama, Bisnis, Cinta, Hukum, dll. ngumpul di sana semua. Mereka pakai dasar/teori apa? Gak ada, terserah mereka mau buat apa. Oke soal Agama, masih ada dasarnya. Yang lain?
Video-video TikTok ini sangat mudah didownload, sehingga bisa disebar ke siapa saja. Biasanya, kalau seide dengan pemikirannya maka akan langsung dishare. Isinya bisa benar bisa tidak. Kita harus bisa memfilternya dengan baik.
Belum lagi soal algoritma TikTok. Sekali kita view misalnya konten soal makanan, maka konten-konten itu yang akan sering muncul di timeline Anda. Maka soal penggunaan TikTok ini selain perlu filter yang kuat dengan literasi yang kuat, juga bijak dalam mengkonsumsi konten-konten yang ada di TikTok. Allahua’lam.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa Doktoral Hukum Ekonomi Syariah UII Yogyakarta