Republiktimes.com – Indonesia adalah satu dari sekian negara yang menganut demokrasi. Di mana salah satu cirinya ialah kedaulatan berada di tangan rakyat.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan, di mana semua warga negaranya memiliki hak setara, dalam pengambilan keputusan dengan bebas. Dengan mengizinkan warga negara untuk berpartisipasi (baik secara langsung atau melalui perwakilan) dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan aturan. Di mana Pemilihan Umum (Pemilu), adalah salah satu contohnya.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi dan kegiatan lainnya. Dalam 77 tahun perjalanan bangsa, Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu, dimulai sejak 1955, 1971, 1977-1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan yang terakhir 2019.
Kekosongan Masa Jabatan
Pada praktiknya, Pemilu dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk DPR, DPRD dan DPD, serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Dan dalam manifestasinya, poses pemilihan untuk Pilpres dan Pilkada, tidak selalu berjalan beriringan, lantaran terdapat beberapa perbedaan waktu dalam tenggat pelaksanaanya. Sehingga, dalam purna-nya masa tugas jabatan suatu pimpinan, tentu tidak akan selesai bersamaan.
Pasca Pilpres 2019, yang kembali dimenangkan oleh Presiden Jokowi bersama KH. Ma’ruf Amin, hingga masa bakti 2024, terdapat beberapa daerah yang mengalami kekosongan masa jabatan pemimpinnya. Di mana pada 2022, terdapat 101 daerah, yang kursi kekuasaannya terpaksa harus ditanggalkan.
Ditelisik lebih jauh, pada 2022, terdapat 7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 walikota, yang masa jabatan pimpinannya harus berakhir. Dan untuk di tahun ini, terdapat 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya, terdiri dari 17 gubernur, 39 walikota dan 115 bupati.
Namun, kekosongan masa jabatan 101 + 170 kepala daerah tersebut, telah diantisipasi oleh pemerintah, dengan pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah, untuk sementara. Hal tersebut merujuk pada Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 2016, yang telah disempurnakan menjadi UU No. 6 Tahun 2020, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Di mana nantinya, para Pj tersebut, baik sebagai Pj gubernur, bupati, dan wali kota, akan bertugas mengisi kekosongan masa jabatan, hingga terpilihnya kepala daerah definitif, melalui Pilkada serentak, 2024.
“Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan,” ujar Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, pada (24/05/22).

Serentakkan Pemilihan
Pada 2024 mendatang, akan menjadi tahun politik besar-besaran di Indonesia. Hal itu disebabkan pemilihan akan digelar serentak, di tahun yang sama, baik itu Pilpres untuk memilih Presiden dan Wakilnya, Pileg untuk pemilihan anggota legislatif, hingga Pilkada untuk pemilihan kepala daerah.
Diketahui, pada 14 Februari 2024 akan digelar pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden, lalu anggota legislatif, baik itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sementara, pada 27 November 2024, akan dihelat pemilihan kepala daerah, untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Hal ini menjadikan Pemilu serentak 2024 sebagai pemilihan pertama terbesar dalam sejarah bangsa. Sebab, sebelumnya, belum pernah ada pemilihan, yang dilaksanakan di tahun yang sama secara bersamaan.
Pemilihan serentak tersebut tentunya dilakukan bukan tanpa alasan. Di mana salah satunya, dengan menyerentakkan Pilpres, Pileg dan Pilkada pada tahun yang sama, dinilai akan menghasilkan pemerintahan yang stabil.
“Pemerintahan akan stabil di antaranya kalau menggunakan desain kepemiluan. Ada keserentakan pemilu karena konstelasi politiknya yang akan mengawal 5 tahun ke depan,” ujar Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, pada (02/06/22).
“Jadi saat mereka memulai masa jabatan durasi 5 tahunannya kemudian dilembagakan supaya dilakukan pada tahun yang sama,” tambahnya.
Partai

Narasi 3 Periode
Di sisi lain, pemunduran pemilihan menjadi serentak di 2024, juga bersamaan dengan masifnya narasi 3 periode yang berhembus kencang. Di mana narasi tersebut dibuat untuk melanjutkan masa kepemimpinan Presiden Jokowi, yang sudah memasuki periode kedua.
Berbagai upaya pun coba dibuat, dirangkai dan dilemparkan, oleh para pejabat maupun elite partai politik di pemerintahan. Sehingga memicu polemik dan kontroversi, yang masih terus bergulir hingga saat ini.
Dalam jejak digital, narasi sesat tersebut muncul pada awal tahun 2022. Hal itu pertama kali disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Serta didukung oleh klaim big data yang dimiliki oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, terkait 110 juta warganet yang meminta Jokowi untuk melanjutkan masa pemerintahannya.
Selain itu, juga ada aksi dari para kepala dan perangkat desa, yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) untuk mengusulkan penambahan masa jabatan presiden, dalam acara Silaturahmi Nasional Apdesi 2022 di Istora Senayan, Jakarta, pada (29/03/22). Apdesi bahkan telah mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi menjabat 3 periode.
Bahkan, gagasan perpanjangan masa jabatan dan upaya penundaan Pemilu 2024, juga turut ditegaskan secara terang oleh elite partai politik dari koalisi pemerintahan. Mereka adalah Muhaimin Iskandar (Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa), Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), dan Zulkifli Hasan (Ketua Partai Amanat Nasional).
Namun, dalam menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi pun tak ambil pusing. Dirinya menegaskan, bahwa akan menolak perpanjangan wacana tersebut dan akan patuh kepada konstitusi negara.
“Konstitusi tidak membolehkan. Sudah jelas itu. Saya akan selalu taat pada konstitusi dan kehendak rakyat. Saya ulangi, saya akan taat konstitusi dan kehendak rakyat,” ucap Presiden Jokowi, pada (28/08/22).

Opsi Pemilu Tertutup
Tak hanya penundaan, masyarakat terus dijejali oleh pejabat tinggi negara dengan wacana-wacana yang seakan menunjukkan kemunduran.
Seperti usulan Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, yang mengeluarkan statement adanya kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Pernyataan tersebut diungkapkannya dalam sambutan acara ‘Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI’, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12/22).
Bahkan, Hasyim juga mengimbau kepada para caleg agar tidak melakukan kampanye dini, sebab, ada kemungkinan jika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. Sadar timbulkan kegaduhan, Hasyim pun lantas meminta maaf.
“Saya sebagai pribadi mohon maaf karena pernyataan saya menimbulkan diskusi yang berkepanjangan dan mungkin diskusi yang tidak perlu,” ucap Hasyim, dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga penyelenggara Pemilu, Rabu (11/01/23).
Selain itu, polemik sistem proporsional tertutup juga mendapatkan penolakan keras dan membuat delapan partai politik (parpol) menyatukan suara. Mereka adalah Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN dan PPP.
Adapun yang dimaksud dengan pemilihan menggunakan sistem proporsional tertutup adalah sistem perwakilan, di mana pemilih hanya dapat memilih parpol secara keseluruhan dan tidak dapat memilih kandidat. Lantaran, kandidat telah dipersiapkan langsung oleh parpol itu sendiri.
Wacana tersebut pun dinilai berbahaya dan berdampak negatif, lantaran dominasi pimpinan partai politik akan melampaui kedaulatan rakyat, saat menentukan para wakilnya di parlemen.
Juga dinilai bertentangan dengan Pasal 22 E, UUD 1945 ayat 1, yang telah menetapkan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Selain itu, sistem proporsional tertutup juga tidak dikenal oleh UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebab, sistem pemilu yang ditetapkan UU ini adalah sistem proporsional terbuka.
“Artinya rakyat sendirilah yang menentukan wakilnya bukan oleh ketua partai. Apalagi UUD menyebutkan kedaulatan rakyat yang artinya rakyatlah yang berkuasa. Cuma partai acapkali mengubah sistem itu untuk kepentingan mereka,” ujar Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, (28/02/23).

Putusan Penundaan Pemilu
Tak berhenti sampai di situ, pada awal Maret, publik juga dihebohkan oleh informasi terkait putusan dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memutuskan untuk melakukan penundaan Pemilu.
“Menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan tujuh hari,” bunyi putusan PN Jakpus pada (02/03/23).
Bukan tanpa sebab, putusan tersebut berawal dari gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima), salah satu parpol yang tidak lolos dalam Pemilu 2024. Tuntutan dilayangkan, lantaran Partai Prima merasa ada kecurangan dalam proses verifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU.
Lagi-lagi putusan yang mengakomodir gugatan Partai Prima tersebut menimbulkan reaksi keras dari seluruh kalangan masyarakat. Lantaran dinilai mengganggu konsentrasi penuh yang tengah diberikan oleh pemerintah, dalam upayanya mempersiapkan Pemilu 2024.
KPU, sebagai pihak tergugat, pun tak tinggal diam. KPU pun resmi mengajukan memori banding atas putusan PN Jakpus 757/Pdt.G/2022/PN.JKT.PST yang mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai Prima atas KPU.
Merespon langkah tersebut, Partai Prima pun menyatakan siap mencabut gugatan terhadap KPU, apabila partainya diloloskan menjadi peserta Pemilu 2024. Sebab, tindakan KPU yang tidak profesional dengan tidak meloloskan Partai Prima lah yang menjadi alasan di balik gugatan tersebut.
“Tidak masalah (cabut gugatan jika lolos jadi peserta Pemilu),” ujar Ketua Umum Partai Prima, Agus Jabo Priyono, pada (08/03/23).
Jakpus

Upaya Melanjutkan Pemilu 2024
Langkah banding KPU juga mendapatkan dukungan penuh dari beberapa tokoh penting, baik dari dalam dan luar pemerintahan.
Bahkan, Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, besar kemungkinan Pengadilan Tinggi tidak akan mengabulkan Putusan PN Jakpus yang telah menghebohkan publik tersebut.
Selain itu, delapan parpol besar juga tampak kompak menolak putusan PN Jakpus terkait penundaan Pemilu. Seperti PDI-Perjuangan, Demokrat, PKS, Gerindra, NasDem, PPP, Golkar dan PKB.
Bahkan, parpol baru peserta Pemilu 2024 seperti Partai Buruh, juga turut mengecam putusan PN Jakpus tersebut. Menurut Partai Buruh, ada dalang besar yang harus diungkap dari putusan kontroversial tersebut.
“Ada apa dengan PN Jakpus? Siapa aktor yang menyuruh PN Jakpus memutuskan demikian? Kepentingan siapa di balik putusan ini?” ujar Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, pada (03/03/23).
Tentunya, melihat sekelumit rangkaian peristiwa yang terjadi seperti di atas, seolah menarik ulur ketetapan pemerintah yang sudah memutuskan dalam menyelenggarakan Pemilu di tahun 2024. Dan seakan memperlihatkan, bagaimana ketidakteguhan pemerintah dalam menjalankan apa yang sudah diputuskannya bersama.
Wacana dan tindakan yang dilahirkan secara terstruktur, sistematis dan massif tersebut, terus dikerjakan dalam upaya merongrong putusan, aturan bahkan ketetapan pemerintah. Gonjang-ganjing terkait pelaksanaan pemilihan tersebut, tentunya juga menjadi representasi, bagaimana Indonesia tengah mengalami kemunduran dalam berdemokrasi.
Laporan: Abdul.