Republiktimes.com – “Jadi anda maunya politisi kerjaannya cari simpati?” begitu yang ditulis oleh Fahri Hamzah, politisi senior di Indonesia dalam tweetnya. Kalimat yang sengaja menjadi judul ini tidak diubah, tidak diedit bahkan pada imbuhan “nya” yang sebenarnya ganda agar jadi terlihat lebih halus, ya apa adanya saja. Dan pertanyaan itulah yang pada akhirnya menjadi tanda tanya besar bagi para anggota komunitas Bekasi Book Club hari ini.
Sebenarnya tidak serta merta muncul pertanyaan itu dalam diskusi buku yang berlangsung, namun dimulai dengan provokasi sikap terang – terangan Soekarno yang berjuang meraih banyak perempuan selama perjalanan hidupnya, yang juga merupakan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Maklum, Bekasi Book Club sedang membahas buku berjudul istri – istri Soekarno yang ditulis Reni Nuryanti dkk. Soekarno dalam buku itu, diceritakan sebagai orang yang tidak peduli dengan langkah – langkah kehidupan pribadinya meski publik mengecam. Karena Soekarno mengerti betul, mana wilayah publik dan mana wilayah privat. Yang mana harus ada pemisahan wilayah tersebut dalam demokrasi. Dan baginya, pernikahan adalah wilayah privasinya.
Peserta “Sharing Buku yang Lo Baca” itu langsung saja mengaitkan dengan perilaku para politisi di Indonesia hari ini yang berlomba untuk memperlihatkan kepada publik bagaimana bahagianya istri para politisi itu di berbagai platform media sosial. Yang dikatakan sebagai istri satu – satunya. Untuk apa? ya memang untuk meraih simpati rakyat. Di sinilah pertanyaan Fahri Hamzah menjadi relevan.
Ini adalah salah satu hal yang buruk dari demokrasi liberal. Para politisi Indonesia seolah kehilangan pemahaman bahwa demokrasi sebenarnya hanya bicara kepentingan kolektif di ruang publik, bagaimana masyarakat bisa hidup makmur, kesenjangan sosial menjadi berkurang, supermasi hukum, fasilitas pendidikan dan kesehatan bisa dirasakan manfaat yang sebenarnya oleh kaum yang lemah. Tidak penting siapa itu istrinya dan seluruh kehidupan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan publik.
Memang faktanya hari ini, terutama untuk para konsultan politik hingga timses tingkat ranting, mereka terjebak hal teknis dengan apa yang dinamakan dengan akseptabilitas. satu tingkat di atas popularitas, satu tingkat lagi di bawah elektabilitas. Untuk bisa mencapai tujuan elektoral itulah, para politisi berlomba – lomba untuk berbedak dan bergincu agar bisa disukai oleh rakyat. Tampak indah di depan mata, namun sejatinya bisa jadi kosong tanpa gagasan atau malah penuh ranjau.
Para timses ini, memoles sedemikian rupa aktivitas pribadi para kandidat, mungkin ada yang seolah terlihat sangat “publik”, tapi hanya terbagi dalam tiga jenis. Pertama, pertemuan – pertemuan dengan para simpul massa yang terhitung berpengaruh. Ke dua, prestasi – prestasi yang hampir terlihat sangat narsis.Ke tiga adalah aktivitas yang sifatnya sosial yang itu sepertinya memang harus dilakukan oleh semua orang, mau kampanye atau tidak. Namun tentang “transaksi” gagasan untuk pembangunan rakyat, meskipun ada tapi ibarat kata seperti gaya interior zaman sekarang, minimalis.
Orang – orang jadi mengikuti pemilu ke pemilu dengan gaya yang sama, tidak ada pencerdasan, malah bahkan pada akhirnya harus berada dalam tingkat kerawanan pemilu terburuk yaitu politik uang. Cara klasik yang masih dipakai untuk meraih simpati, yang terus diperangi oleh pasukan Bawaslu dan seluruh agennya di nusantara.
Begitulah kelindan ketat antara pertanyaan Fahri Hamzah yang menurut orang satu menjadi pertanyaan yang sangat penting, dan menurut orang lain yang sekali lagi terjebak dalam uraian teknis entah itu butuh teman dalam politik, kolabroasi sampai mengamankan bohir, akan sulit menerima gagasan besar pria keturunan Suku Mandar tersebut.
Namun, penulis sedikit bertanya padanya mengenai apa alasan terbesar ia berkata pada publik dengan pertanyaan yang menjadi judul ini. Jawabannya sederhana, karena hal tersebut adalah pekerjaan yang mustahil. Penulis langsung teringat dengan riwayat Lukman al Hakim yang menunggang keledai bersama anaknya. Begitulah.