Republiktimes.com – Setelah tujuh tahun, gerhana Matahari total kembali bisa disaksikan di Indonesia. Gerhana akan berlangsung pada Kamis, 20 April 2023. Namun, gerhana kali ini hanya bisa disaksikan di wilayah timur Indonesia. Sisanya, seluruh wilayah Indonesia, kecuali ujung barat Sumatera, akan bisa menyaksikan gerhana Matahari sebagian.
Gerhana Matahari total (GMT) yang bisa disaksikan di Indonesia itu merupakan bagian dari gerhana Matahari hibrida (GMH) 20 April 2023. GMH adalah tipe gerhana Matahari yang merupakan gabungan dari GMT dan gerhana Matahari cincin (GMC) dengan satu tempat hanya bisa menyaksikan satu jenis gerhana. Kedua ujung lintasan GMH akan mengalami GMC, sedang daerah di tengahnya akan mengalami GMT.
Lintasan GMH ini memiliki lebar maksimum 49 kilometer (km) dan terentang sejauh ribuan km. Gerhana dimulai saat Matahari terbit di sekitar kepulauan vulkanik Daratan Selatan dan Antarktika Perancis di selatan Samudra Hindia dan tenggara Afrika. Kemudian, jalur gerhana menyusuri Samudra Hindia hingga akhirnya tiba di Tanjung Exmouth dan Pulau Barrow, Australia Barat, dan menyapu sisi timur Timor Leste.
Setelah itu, baru lintasan gerhana memasuki wilayah Indonesia. ”Daratan pertama di Indonesia yang dilintasi gerhana adalah Pulau Kisar,” kata Kepala Observatorium Bosscha Premana W Premadi dalam gelar wicara daring ”Menyambut Gerhana Matahari Total 20 April 2023” di Lembang, Jawa Barat, Sabtu (18/3/2023). Kisar termasuk pulau terdepan dan terpencil di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD).
Dari Kisar, jalur gerhana bergerak ke melintasi sisi tenggara Laut Banda dan melalui sejumlah pulau kecil di MBD. Lintasan gerhana terus menyusuri lautan hingga kembali melalui daratan di utara Kepulauan Watubela, Seram Bagian Timur, Maluku. Setelah melalui timur Laut Seram, jalur gerhana memasuki daratan paruh burung Papua, di bagian tengah Semenanjung Bomberay, Fakfak, Papua Barat.
Berikutnya, lintasan gerhana akan melewati bagian timur Teluk Bintuni, utara Teluk Wondama, hingga akhirnya melintasi pulau-pulau di pesisir utara Papua di barat Kabupaten Kepulauan Yapen dan selatan Biak Numfor. Selepas itu, jalur gerhana kembali memasuki lautan dan berakhir seiring terbenamnya Matahari di sisi timur Kepulauan Marshall, barat Samudra Pasifik.
Di sepanjang lintasan gerhana itu, GMC hanya bisa dinikmati di kedua ujung jalur gerhana, yaitu di selatan Samudra Hindia dan barat Samudra Pasifik. Sisanya, masyarakat di semua wilayah daratan yang dilintasi jalur gerhana ini hanya bisa melihat GMT. ”Sejak lintasan gerhana memasuki Australia, gerhana yang terjadi adalah GMT, bukan GMC,” tambah komunikator astronomi dari Langitselatan, Avivah Yamani, dalam Bincang Astronomi: Menikmati Gerhana Matahari 2023 dengan Sederhana, Sabtu (1/4/2023).
Keseluruhan proses gerhana berlangsung selama 5 jam 25 menit, tetapi totalit gerhana hanya terjadi selama 1 menit 16 detik. Puncak gerhana terbaik terjadi di perairan selatan Timor Leste pada pukul 13.18 WIT. Waktu terjadinya gerhana di tempat lain harus disesuaikan dengan waktu setempat, termasuk untuk wilayah lain di Indonesia yang hanya bisa melihat gerhana Matahari sebagian (GMS).
Langka
Gerhana Matahari sejatinya bukanlah peristiwa langka. Setiap tahun, setidaknya terjadi 2-5 kali gerhana Matahari. Namun, menjadi istimewa karena hanya di daerah-daerah tertentu peristiwa ini bisa disaksikan. Masyarakat yang tinggal di satu wilayah tertentu, dalam seumur hidup mereka, belum tentu bisa menyaksikan gerhana Matahari, khususnya GMT yang spektakuler, apalagi GMH.
GMT spektakuler karena dampaknya sangat terasa. Saat piringan Bulan menutupi bulatan Matahari secara penuh, langit pada pagi hingga sore hari yang terang tiba-tiba berubah menjadi gelap. Suhu turun, kecepatan angin berubah, aneka satwa mendadak berperilaku aneh, termasuk riuh kicau burung yang tidak biasa. Semua itu berpadu dengan decak kagum manusia, tak jarang sampai mengeluarkan air mata, yang menyaksikan langsung keagungan semesta.
”Menyaksikan gerhana Matahari adalah pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup karena tidak ada fenomena lain di Bumi yang bisa menyaingi keindahan kosmik seperti saat terjadi gerhana Matahari,” tambah astronom dan wartawan senior Kompas, Ninok Leksono, yang sudah empat kali mengamati GMT di Indonesia, yaitu 11 Juni 1983, 18 Maret 1988, 24 Oktober 1995, dan 9 Maret 2016.
Secara teoretis, GMT paling lama bisa berlangsung selama 7 menit 32 detik. Namun, GMT 1 menit 16 detik yang akan terjadi pada 20 April 2023 nanti tetap memberi dampak luar biasa hingga banyak orang mengejarnya, termasuk sejumlah wisatawan. GMT pada 9 Maret 2016 yang melintasi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara mendongkrak kedatangan wisatawan nusantara dan mancanegara.
GMT terjadi tatkala bayangan inti (umbra) Bulan yang terbentuk akibat piringan Bulan menutupi piringan Matahari jatuh ke permukaan Bumi. Jika bayangan yang jatuh ke permukaan Bumi adalah perpanjangan inti Bulan (antumbra), maka akan terjadi GMC. GMH merupakan rangkaian GMC dan GMT sehingga, pada satu waktu secara bergantian, bayangan Bulan yang jatuh ke Bumi adalah antumbra, diikuti umbra, dan kembali antumbra.
Seperti dikutip dari Space, 20 November 2022, GMH terjadi karena jarak Bulan ke Bumi berada di sekitar batas bayangan umbra menyentuh Bumi dan melengkungnya permukaan Bumi. Saat awal dan akhir GMH, ujung bayangan umbra Bumi berada sedikit di atas permukaan Bumi sehingga bayangan yang jatuh ke permukaan Bumi adalah bayangan antumbra. Akibatnya, terjadi GMC di daerah yang dilalui antumbra Bulan tersebut.
Namun, di tengah jalur GMH, lengkungan Bumi membuat bayangan umbra Bulan yang jatuh ke permukaan Bumi. Lengkungan Bumi itu membuat jarak Bumi sedikit lebih dekat ke Bulan dibandingkan jarak daerah di Bumi yang dilintasi antumbra Bulan ke Bulan. Karena itu, satu tempat di Bumi tidak mungkin bisa untuk mengamati GMC dan GMT sekaligus.
Unik
Gerhana Matahari adalah fenomena unik. Menurut Muhammad Yusuf, peneliti di Observatorium Bosscha, tidak ada tempat di Tata Surya yang bisa menikmati gerhana Matahari seperti yang terjadi di Bumi. Jarak rata-rata Matahari-Bumi adalah 400 kali jarak rata-rata Bulan-Bumi, demikian pula lebar Matahari sekitar 400 kali lebar Bulan.
Kesamaan rasio itu membuat ukuran piringan Bulan di langit dilihat dari Bumi setara dengan lebar piringan Matahari sehingga memungkinkan terjadinya gerhana Matahari. Jika ukuran piringan Bulan lebih kecil, maka piringan Bulan tidak bisa menutupi seluruh piringan Matahari hingga ketampakannya akan seperti peristiwa transit Venus, yaitu saat piringan Venus yang kecil melintas di depan Matahari.
Sebaliknya, ”Jika ukuran piringan Bulan lebih besar dibanding ukurannya saat ini, maka saat terjadi gerhana Matahari, pengamat di Bumi tidak bisa menyaksikan korona Matahari dan lapisan kromosfer Matahari,” tambahnya.
Selain itu, GMH adalah peristiwa yang jarang terjadi. Data Five Millennium Canon of Solar Eclipses: -1999 to +3000 yang disusun Fred Espenak dan Jean Meeus dan dipublikasikan NASA menyebut antara tahun 2000 sebelum Masehi (SM) hingga tahun 3000 Masehi terdapat 11.898 gerhana Matahari dalam berbagai tipe. Dari jumlah itu, jumlah GMH hanya 569 kali atau 4,78 persen.
Sementara selama abad ke-21, hanya ada 7 GMH atau 3,1 persen dari 224 gerhana Matahari yang terjadi. GMH 20 April 2023 adalah GMH ketiga selama abad ini. GMH terakhir terjadi 3 November 2013 yang bisa diamati di utara Samudra Atlantik dan tengah Afrika. Sementara GMH setelah ini akan terjadi pada 14 November 2031, yang melintasi tengah Samudra Pasifik.
Peneliti Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional Andi Pangerang Hasanuddin mengatakan, GMH terakhir di Indonesia terjadi pada 6 Juni 1807, yang melintasi selatan Sumatera dan Laut Jawa. GMH berikutnya di Indonesia akan terjadi pada 25 November 2049, yang melewati selatan Sumatera, pesisir selatan Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, dan Halmahera.
”Tidak di semua abad akan terjadi GMH di Indonesia,” katanya. Setelah GMH 2049, GMH di Indonesia baru akan terjadi lagi 13 Oktober 2349 dan 17 Februari 2827.
Sebagian
Masyarakat Indonesia yang tidak berada di wilayah yang dilintasi jalur GMH masih bisa menyaksikan gerhana Matahari sebagian. Masyarakat di seluruh wilayah Indonesia bisa menyaksikan GMS, kecuali di ujung barat Pulau Sumatera.
Pusat Jejaring Informasi Ilmu Kebumian Internasional (CIESIN) Universitas Columbia, Amerika Serikat, memperkirakan 693 juta atau 8,77 persen penduduk Bumi bisa menyaksikan salah satu bagian dari GMH 20 April 2023, baik GMS, GMC, maupun GMT. Mereka tersebar di sejumlah negara Asia Tenggara, Australia, sebagian China dan Selandia Baru, serta sejumlah negara Oseania.
Namun, warga Bumi yang bisa menyaksikan GMC atau GMT diprediksi hanya 375.000 orang atau 0,004 persen penduduk Bumi. Mereka adalah yang tinggal atau sengaja pergi ke daerah yang dilintasi jalur GMH. Sedikitnya jumlah orang yang bisa menyaksikan langsung GMT atau GMC itu terjadi karena sebagian besar lintasan GMH melintasi daerah-daerah terpencil, baik di Australia, Timor Leste, maupun Indonesia.
Saat GMS, jika diamati secara langsung menggunakan kacamata atau filter khusus atau secara tidak langsung dengan teknik proyeksi bayangan Matahari, maka bulatan Matahari akan terlihat sompek atau krowak pada bagian tepinya.
Besaran piringan Matahari yang berlubang di setiap daerah itu akan bergantung pada kedekatan wilayah tersebut dengan jalur lintasan GMH. Makin dekat dengan jalur lintasan, akan semakin banyak piringan Matahari yang tertutup Bulan hingga terlihat seperti sabit. Semakin jauh dari jalur GMH, makin sedikit bulatan Matahari tergerhanai Bulan hingga Matahari akan terlibat bak bulatan cahaya yang cuil di salah satu sisinya.
Namun, apa pun bentuk gerhana yang bisa dilihat masyarakat dari daerahnya, Premana mengajak masyarakat untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan melihat gerhana ini. Sejak di bangku sekolah dasar, semua siswa telah diajarkan bagaimana proses gerhana terjadi. Pengamatan langsung proses gerhana akan memberi dampak jauh lebih besar bagi setiap orang dalam memahami fenomena alam ataupun kesadaran diri sebagai manusia.
”Situasi saat ini sedikit ironis. Saat peradaban modern makin maju dan sains sudah menjadi pengetahuan kita, manusia malah makin sedikit meluangkan waktunya melihat langit. Bagaimanapun, manusia masih menggantungkan banyak aspek hidupnya pada Matahari,” katanya.