Republiktimes.com – Fenomena munculnya crazy rich di Indonesia, belakangan ini kian menjamur, yang kerap ditampilkan melalui ragam dan jenis konten di sosial medianya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)-nya, pun melakukan upaya pengawasan terhadap wajib pajak grup dan juga high wealth individual (HWI) atau crazy rich di Indonesia. Di antaranya ialah menerbitkan regulasi agar pemungutan pajak lebih mudah dilakukan serta membentuk satuan tugas (task force).
“Kami membentuk task force untuk pengawasan wajib pajak grup dan HWI yang biasanya merupakan bagian dari grup,” ujar Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam tayangan konferensi pers APBN Kita Edisi Juni 2023, di YouTube Kemenkeu RI, Senin (3/7/2023).
Lebih lanjut, Suryo menjelaskan, bahwa pembentukan satgas tersebut merupakan bagian dari program kerja komite kepatuhan, yang dimulai tahun ini. Dan ke depan, Ditjen Pajak juga akan menggunakan komite kepatuhan, sebagai alat untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum.
“Sekaligus juga melakukan pelayanan dan penyuluhan kepada masyarakat wajib pajak,” tambah Suryo.
Sebagai informasi, Pemerintah sendiri memang telah melakukan perubahan, dalam lapisan tarif progresif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi, yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2023 kemarin. Dengan menerapkan tarif PPh sebesar 35%.
“Merujuk data di tahun sebelumnya, sedikitnya 1.119 wajib pajak diprediksi akan merasakan dampak dari penambahan lapisan tarif ini,” tulis artikel yang diunggah di website resmi Ditjen Pajak.
Adapun jumlah 1.119 tersebut, merupakan wajib pajak yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 miliar atau 0,03% dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan, dan berpotensi meningkat. Di mana jumlah itu hanya sebagian dari jumlah wajib pajak, yang masuk kategori HWI di Indonesia.
“Harapannya, jumlah kekayaan akan berbanding lurus dengan penghasilan. Karena yang menjadi dasar dari penerimaan pajak adalah penghasilan kena pajak”.
Selain itu, wajib pajak yang masuk dalam kategori tersebut biasanya memiliki kapasitas dan sumber daya untuk mampu melakukan perencanaan pajak yang cukup agresif. Sehingga, kecenderungan untuk timbulnya modus penghindaran pajak bisa menjadi tantangan tersendiri.
“Apalagi selama ini penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan hanya berkontribusi sebesar 2% dari penerimaan pajak. Cukup timpang jika dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi karyawan dengan kontribusi 24%.”