Kesepakatan Dagang Indonesia–AS Versi Trump: Ancaman terhadap Kedaulatan Ekonomi?

Republiktimes.com – Dalam pernyataan publik terbarunya, Donald J. Trump, Presiden Amerika Serikat saat ini mengklaim bahwa ia telah merampungkan sebuah “kesepakatan bersejarah” dengan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Dalam narasinya, kesepakatan ini membuka seluruh pasar Indonesia kepada produk-produk Amerika tanpa hambatan tarif maupun non-tarif. Di saat yang sama, Trump menyebut bahwa Indonesia akan dikenakan tarif 19% untuk semua barang ekspor ke AS.

Bila pernyataan ini benar adanya dan kelak diwujudkan dalam bentuk perjanjian formal, maka ini bukan hanya kesepakatan ekonomi biasa—melainkan langkah asimetris yang bisa mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

Ketimpangan Struktural dalam Akses Pasar

Salah satu poin paling mencolok dari pernyataan Trump adalah ketimpangan dalam struktur perdagangan bilateral. Produk-produk Amerika, mulai dari hasil pertanian, energi, hingga pesawat terbang, akan mengalir bebas ke pasar Indonesia. Sebaliknya, produk ekspor Indonesia ke Amerika harus membayar tarif tinggi, bahkan dikenakan sanksi tambahan jika rerouting perdagangan melalui negara ketiga terdeteksi.

Dalam konteks perdagangan internasional yang sehat, prinsip resiprositas (timbal balik) menjadi kunci. Tidak ada negara yang seharusnya membuka pasarnya sepihak tanpa adanya perlakuan setara. Jika benar Indonesia membuka diri sepenuhnya terhadap arus barang dan jasa dari AS tanpa imbalan yang proporsional, maka hal ini akan memperbesar tekanan terhadap pelaku usaha dalam negeri, terutama UMKM, petani, dan nelayan lokal.

Pembelian Produk AS: Dorong Industri Mereka, Tekan Industri Kita

Trump menyebutkan bahwa Indonesia akan membeli: Energi senilai USD 15 miliar, Produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing, banyak di antaranya tipe wide-body 777.

Di satu sisi, transaksi ini terlihat sebagai penguatan hubungan bilateral. Namun di sisi lain, ini menandakan potensi ketergantungan baru terhadap energi dan teknologi luar negeri, sekaligus pelemahan terhadap kapasitas industri dalam negeri.

Dalam jangka pendek, pembelian energi dan pesawat akan menekan neraca pembayaran Indonesia dan berpotensi memperlemah nilai tukar rupiah jika tidak ditopang ekspor yang seimbang. Sementara di sektor pertanian, masuknya produk agrikultur dari Amerika, yang dikenal dengan harga murah akibat subsidi besar tentu akan memukul petani lokal yang selama ini minim perlindungan.

Geopolitik Ekonomi dan Kepentingan Nasional

Apa yang diungkapkan Trump sejatinya adalah representasi dari America First, strategi nasionalisme ekonomi yang menempatkan kepentingan industri domestik AS sebagai prioritas mutlak. Bila Indonesia tunduk pada logika ini tanpa melakukan negosiasi yang adil dan setara, maka kita sedang membuka celah untuk menjadi pasar konsumtif, bukan mitra dagang strategis.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Sejarah mencatat bahwa perjanjian-perjanjian dagang yang timpang kerap memicu ketimpangan struktural, memperlemah industri nasional, dan bahkan mengganggu stabilitas sosial akibat maraknya impor yang tidak terkendali.

Menuju Perjanjian yang Berkeadilan

Indonesia tentu berkepentingan menjalin hubungan erat dengan negara manapun, termasuk Amerika Serikat. Namun, dalam setiap perjanjian ekonomi, posisi tawar dan kepentingan jangka panjang bangsa harus menjadi landasan utama. Oleh karena itu, ada sejumlah langkah strategis yang perlu diperhatikan pemerintah agar kerja sama yang dibangun tetap berkeadilan dan berpihak pada kepentingan nasional.

Pertama, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur perjanjian yang akan disepakati, termasuk aspek-aspek seperti tarif, kuota, serta ketentuan teknis ekspor dan impor. Evaluasi ini penting agar tidak ada celah yang merugikan kepentingan ekonomi nasional.

Kedua, konsultasi dengan pelaku industri dalam negeri harus diutamakan, terutama dari sektor-sektor yang paling terdampak langsung seperti pertanian, energi, dan penerbangan. Keterlibatan mereka dapat memberikan perspektif riil atas potensi risiko maupun peluang dari kerja sama tersebut.

Ketiga, pemerintah perlu menyusun strategi proteksi sektoral agar sektor-sektor vital tidak tenggelam dalam gempuran produk impor yang lebih murah atau lebih masif. Proteksi ini bukan bentuk proteksionisme tertutup, melainkan langkah afirmatif untuk menjaga daya saing industri dalam negeri. Keempat, diversifikasi pasar ekspor dan impor juga harus dipercepat agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada satu negara mitra dagang. Ketergantungan yang tinggi justru berpotensi menjadi kelemahan strategis dalam jangka panjang.

Penutup

Trump, sebagai Presiden Amerika Serikat, tentu memiliki kepentingan domestik di balik pernyataan tersebut. Namun pemerintah Indonesia tidak boleh terseret arus retorika politik negara lain yang tidak memperhitungkan kerugian strategis di pihak kita.

Dalam dunia yang semakin terkoneksi ini, perdagangan bebas penting. Tapi lebih penting lagi: perdagangan yang adil. Bukan hanya untuk menyeimbangkan neraca dagang, tapi juga demi melindungi masa depan ekonomi Indonesia.[]

Edo Segara Gustanto/Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian & Analisis Ekonomi Nusantara