Jakarta, Republiktimes.com – Akhir-akhir ini barangkali kita akrab dengan istilah gemoy atau joget gemoy yang dikenalkan salah satu pasangan Capres dan Cawapres. Istilah gemoy di kalangan anak muda disebut dengan gemes/gemesin. Tim kampanye dan pendukung salah satu Capres dan Cawapres ini secara masif menggunakan istilah itu sebagai ciri khas kubu mereka. Strategi tersebut dinilai sebagai usaha Capres dan Cawapres tersebut untuk menggaet pemilih terbanyak di Indonesia yang berasal dari kalangan gen Z dan Alpha.
Sebagai sebuah strategi politik ini perlu diakui bahwa kegemasan atau kelucuan yang diusung dengan istilah “gemoy” ini merupakan strategi pemasaran politik yang brilian. Dalam era digital dan media sosial, di mana pesan singkat dan gambaran kesan sangat berpengaruh, tidak dapat dipungkiri bahwa menciptakan image yang menggemaskan dapat menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi pemilih muda yang cenderung aktif di media sosial.
Strategi pemasaran politik seperti ini sangat mirip apa yang dilakukan oleh Bongbong Marcos, putra dari mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Bongbong melakukan kampanye dengan cara merubah citra diktator yang melekat pada dirinya dan keluarga. Misalnya, dia tampil dengan citra yang lebih bersahabat selama masa kampanye.
Momen yang cukup membekas adalah ketika Bongbong menutup masa kampanye dengan berjoget di atas panggung pada acara bertajuk “Unity Concert” yang digelar di St. Vincent Ferrer Prayer. Aksi Bongbong berjoget itu sempat viral di media sosial yang akhirnya Bongbong memenangkan pemilu di Filipina.
Siapa Bongbong Marcos?
Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. adalah seorang politisi Filipina dan putra dari mantan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos. Bongbong Marcos telah terlibat dalam berbagai jabatan politik di Filipina. Dia menjabat sebagai Gubernur Provinsi Ilocos Norte dari 1998 hingga 2007, dan kemudian sebagai Anggota Dewan Perwakilan Filipina dari 2007 hingga 2016.
Pada tahun 2016, Bongbong Marcos mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Filipina dalam pemilihan umum nasional. Meskipun dia kalah dalam pemilihan tersebut, dia memutuskan untuk menantang hasil pemilihan, dengan menyatakan bahwa terdapat kecurangan dalam proses pemilihan. Namun, pada akhirnya, Mahkamah Agung Filipina menolak tuntutannya pada 2019.
Bongbong Marcos telah menciptakan dampak besar dalam politik Filipina dan memiliki basis pendukung yang signifikan. Karena dinamika politik dapat berubah, disarankan untuk memeriksa sumber-sumber berita terkini atau informasi terbaru untuk mendapatkan perkembangan terbaru mengenai Bongbong Marcos atau politik Filipina.
Meski Bongbong pernah mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2016 dan kalah. Lalu, pada 2021, Bongbong mendeklarasikan bahwa dirinya akan ikut mencalonkan diri dalam Pemilu 2022, dan akhirnya berhasil memenangkan pemilu tersebut berpasangan dengan wakil presiden dari klan Duterte yaitu Sara Duterte-Carpio, yang tidak lain adalah putri dari Rodrigo Duterte, mantan presiden Filipina.
Gemoy Hanya Gimmick?
Dalam era media sosial yang dipenuhi dengan tren dan istilah baru setiap hari, “gemoy” mungkin hanya sekadar gimmick yang mencuri perhatian tanpa memberikan substansi yang sesungguhnya. Terlihat menggemaskan dan lucu di permukaan, namun apa yang sebenarnya disembunyikan di balik kata ini?
Tren “gemoy” nampaknya hanya menjadi alat pemasaran politik semata, digunakan untuk memikat perhatian khalayak dengan iming-iming kegemasan tanpa memberikan nilai tambah yang nyata. Konten yang diberi label “gemoy” seringkali lebih fokus pada visual yang menghibur daripada pesan atau makna yang mendalam.
Hal ini bisa dilihat dari debat Capres pertama terkait tema Hukum dan HAM yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat. Bahwa kesan gemoy itu tidak ada sama sekali di dalam debat tersebut, justru salah satu calon yang diidentikkan gemoy terlihat sangat emosi menanggapi pertanyaan pertanyaan dari kompetitor yang lain.
Dalam masyarakat yang terus berkembang, wajar jika kita menilai apakah istilah-istilah seperti “gemoy” hanyalah trik pemasaran belaka atau apakah mereka bisa memberikan kontribusi positif yang lebih besar. Mungkin, di balik gemerlapnya kesan lucu, kita perlu mencari substansi yang lebih mendalam untuk memahami makna sesungguhnya dari segala “gemoy” yang sedang populer saat ini.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Indonesia Yogyakarta