Republiktimes.com – Tak ada yang darurat. Karena itu, tak perlu peringatan. Garuda biru kenapa dijadikan simbol peringatan darurat, ya? Entahlah. Kata teman saya, lihat saja google. Baca di situ.
Setiap akan ada pemilihan atau pergantian kekuasaan, kerap terjadi yang seperti ini. Jadi situasi ini, biasa-biasa saja. Tak ada yang aneh. Apalagi darurat. Pilpres kemarin belum selesai.
Lihatlah orangnya itu ke itu saja. Berkurang malah. Karena sudah ada yang bergabung. Pembangkangan Konstitusi. Inkonstitusional. Kalau dulu, Mahkamah Keluarga. Dari paman untuk ponakan. Ya, istilah itu bisa-bisa saja.
Ini Pilpres jilid II. Masalahnya, tiba-tiba saja Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah persyaratan pencalonan dalam Pilkada, setelah PDIP tak bisa mengusung pasangan calon di Pilgub DKI, karena ditinggal sendirian partai-partai. Anies Baswedan benar-benar tak bisa maju.
Perubahan itu drastis sekali. PDIP jadi bisa mengusung pasangan calon di Pilgub Jakarta. Tapi belum tentu juga yang akan diusung adalah Anies Baswedan. Mengubah syarat dukungan lebih dari separuh dari syarat sebelumnya. Sangat revolusioner. Kenapa tak dari dulu?
Dari 20% kursi atau 25% suara di semua tingkatan, jadi bertingkat sesuai perolehan suara. Paling tinggi hanya 10% dan paling rendah 6,5%. Sangat dramatis sekali. Bahkan lebih rendah dari UU sebelumnya 15%.
Padahal dulu dinaikkan jadi 20% karena terlalu banyak calon dan bikin kegaduhan tersendiri. Ternyata sedikit calon, bahkan diakomodir juga calon tunggal, bikin orang kurang happy. Kurang gaduh tak happy juga. Kegaduhan adalah kita. Kebetulan, difasilitasi MK. Termasuk DPR.
Tapi itu hak MK juga menafsir atau mengubah Undang-Undang, meski mendadak dan drastis pula. Harus dihormati. Begitu kata Presiden Jokowi. Putusan MK harus dihormati. Presiden Jokowi pura-pura tak tahu pula.
Tapi tak lama berselang, Badan Legislatif DPR langsung pula membuat Rancangan Undang-Undang Baru soal Pilkada itu. Putusan MA diakomodir, putusan MK juga diakomodir, tapi tidak soal persyaratan calon yang baru saja diubah MK. DPR tetap dengan persyaratan dalam Undang-Undang lama.
Apa akal lagi? Presiden Jokowi main aman. Menghormati putusan MK, putusan MA, dan menghormati juga Rancangan Undang-Undang Pilkada Baru yang dibuat DPR. Seolah-olah sedang bekerja sesuai kewenangan masing-masing, tapi sebetulnya sedang bertikai. Bertikai tajam setajam-tajamnya.
Pertikaian itu dapat dilihat dari perdebatan para pengamat. Juga demo hari ini. Pendemo dan pengamat di Republik ini memang tak pernah kehabisan bahan. Ada terus, bahkan berlimpah-limpah.
Dunia Maya dibikin sesak dan kalau tak hati-hati bisa jatuh pada kesesatan. Isu perselingkuhan juga lagi di atas. Tapi jangan ikut-ikutan. Maksudnya, jangan mudah diombang-ambingkan. Kalau tidak, siap-siap menjadi korban.
Pengamat Politik, Erizal