Yogyakarta, Republiktimes.com – Dalam kuliah S3 Hukum Islam Program Doktor (HIPD), mata kuliah Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Siswanto Masruri, diskusi yang dipresentasikan oleh salah satu mahasiswanya, Ahmad Fauzi bertema tentang Ilmu dan Kebudayaan. Achmad Fausi menyitir hipotesa Samuel P. Huntington terkait “The Clash of Civilizations.” (21/12/2022)
Tesis Huntington mempersoalkan potensi Agama Islam yang akan mengancam kebudayaan dan peradaban. Huntington memprediksi terjadinya benturan antara agama dan kebudayaan. “Sayangnya, prediksi Huntington terkait benturan agama dan budaya tersebut benar-benar terjadi setelah Perang Dunia Kedua,” ungkap Achmad Fausi yang menjadi Hakim di Pengadilan Agama di Penajam, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Tragedi World Trade Center (WTC) seakan menjadi bukti prediksi Huntington terkait benturan peradaban. Benarkah tesis Huntington yang menyatakan bahwa agama menjadi sumber masalah? Tulisan ini mencoba mengulas wacana tersebut sekaligus menyambungkan wacana moderasi beragama yang digulirkan oleh Kementerian Agama, Republik Indonesia.
Agama dan Peradaban Sumber Konflik?
Samuel P. Huntington dalam artikelnya di Foreign Affairs journal, “The Clash of Civilizations” atau benturan peradaban menyatakan hipotesanya dengan melihat paradigma baru dalam melihat dunia. Ia melihat ada tujuh peradaban yang akan mewarnai persaingan global, siapa saja? Di antaranya adalah, Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu dan Slavic-Orthodox.
Professor of the Science of Government Harvard University ini memprediksi akan terjadi konflik di level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer.
Ahli Budaya, Prof. Dr. Robert W. Hefner membantah tesis Huntington, dan mengatakan keragaman budaya dan toleransi yang dimiliki Indonesia mampu membuktikan bahwa yang dikatakan Huntington salah. Setidaknya ada tiga analisis Hefner bahwa Clash of Civilization sepenuhnya salah dan bisa dibantah oleh masyarakat Indonesia.
Pertama, Indonesia dapat membuktikan kolaborasi dapat terjadi antara institusi keagamaan dan pemerintahan. Sebaliknya, Amerika Serikat sangat percaya bahwa kunci keberhasilan demokrasi adalah pemisahan kedua institusi tersebut.
Alasan kedua, muslim, pendidik, dan pemimpin politik mampu menjadikan contoh kolaborasi yang baik bagi masyarakat dan dunia. “Indonesia jadi contoh kolaborasi yang tepat dalam sistem pluralisme,” lanjut Hefner. Agama berkontribusi meningkatkan dan menguatkan demokrasi dan kerakyatan. “Agama dan negara bekerja dengan baik melalui Pancasila dan ke-bhinekaan,” ungkap Hefner dalam The 5th Jakarta Geopolitical Forum 2021 (21/10/2021).
Alasan ketiga, angkatan bersenjata Indonesia berperan positif dalam kembalinya negara ke sistem demokrasi. Hefner membandingkan militer Indonesia dan Mesir pada 1998 dan Arab Spring 2010. Ternyata komando angkatan bersenjata Indonesia dapat bertindak dengan bijaksana. Militer Indonesia mendukung reformasi pemilu dan legislatif.
Konflik dan Moderasi Beragama
Tesis Huntington juga secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Singkatnya, Huntington menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam. Indonesia yang masyarakatnya amat majemuk (baik agama dan suku), seringkali terjadi adanya gesekan sosial akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan.
Di suatu waktu, misalnya, ada umat beragama yang membenturkan pandangan keagamaannya dengan ritual budaya lokal seperti sedekah laut, festival kebudayaan, atau ritual budaya lainnya. Di waktu yang lain kita disibukkan dengan penolakan pembangunan rumah ibadah di suatu daerah, meski syarat dan ketentuannya sudah tidak bermasalah.
Belum lagi pemahaman-pemahaman yang salah terkait jihad. Jihad dipahami sebagai pembenaran untuk melakukan teror kepada agama lain (menyerang tempat-tempat ibadah) dan para pelaku maksiat. Lalu muncul wacana moderasi beragama yang dianggap sebagai solusi dari semua persoalan tersebut. Tapi benarkah moderasi beragama bisa meminimalisir problem di atas, atau hanya sebagai proyek belaka?
Moderasi Beragama atau Moderasi Berbagi?
Kita harus jujur, ada ketidakadilan di semua instansi keagaamaan dan sosial resmi Pemerintah. Di mana posisi posisi lembaga keagamaan coba didominasi oleh salah satu ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Lembaga-lembaga sosial juga disusupi kepentingan politik dan keagamaan. Bagi sebagian orang ini wajar, tapi bagi saya ini masalah karena terjadi ketidakseimbangan.
Kita harus sadar, Indonesia tidak hanya dibangun oleh satu ormas keagamaan saja. Ada Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dll. Sehingga kurang tepat jika lembaga keagamaan dan sosial resmi Pemerintah hanya didominasi oleh salah satu ormas. Prof. Siswanto Masruri, dalam sebuah kuliah Filsafat Ilmu, menyampaikan sebuah usulan, “Moderasi Berbagi.”
Moderasi Berbagi yang dimaksud Prof. Siswanto adalah pembagian secara adil posisi-posisi yang dipersoalkan di atas tadi. “Ada semacam konvensi, pembagian yang rata dan adil. Ormas-ormas dilibatkan di semua Lembaga keagamaan dan sosial milik Pemerintah. Diksi-diksi Mina, Minhum itu harus dihilangkan. Pandai-pandailah berbagi,” ungkap Prof Siswanto, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saya setuju dengan ungkapan Prof. Siswanto, memajukan bangsa ini harus kita lakukan bersama, jangan menganggap ormasnya sendiri lah yang paling mampu dan yang lain tidak mampu. Ormasnya sendiri yang bisa membangun bangsa ini, yang lain tidak. Harus ada moderasi berbagi. Semoga tulisan ini bisa didengar oleh pihak-pihak terkait, sehingga membawa kebaikan yang lebih banyak buat negara kita tercinta, Indonesia.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa Hukum Islam Program Doktor (HIPD) UII Yogyakarta