Jakarta, Republiktimes.com – Mohammad Athar atau yang sekarang lebih populer dipanggil Bung Hatta adalah sosok yang sederhana. Ia pernah meminta asistennya untuk mengembalikan dana taktis Wakil Presiden yang sebenarnya merupakan haknya saat ia masih menjabat Wakil Presiden.
Semua tawaran untuk menjabat sebagai komisaris perusahaan nasional dan internasional pernah ditolak Bung Hatta. Bahkan jabatan yang ditawarkan Bank Dunia pun pernah dia tolak.
Bagaimana dengan sekarang? Semua berlomba-lomba ingin menjadi Komisaris sebuah Perusahaan/BUMN. Demi materi dan jabatan segala cara dihalalkan.
Gaji Pensiun Tidak Cukup
Setelah mundur dari jabatan Wakil Presiden Republik Indonesia, Rahmi mengakui kalau hidup keluarganya sangat pas pasan. Uang tabungannya bahkan tak cukup untuk membeli mesin jahit yang diidam-idamkan karena kebijakan pengurangan nilai mata uang.
Suatu saat, Hatta menerima rekening listrik yang jumlahnya cukup tinggi. “Bagaimana saya bisa membayarnya dengan uang pensiun saya?” kata Bung Hatta. Ia lalu meminta Gubernur Ali Sadikin lewat surat agar uang pensiunnya dipotong untuk membayar tagihan listrik. Pada akhirnya, Pemprov DKI kemudian menanggung biaya listrik dan PAM Bung Hatta.
Pada kesempatan lain di tahun 1970, Bung Hatta berkesempatan kembali menjejakkan kaki ke Bumi Cenderawasih, Irian Jaya. Tempat di mana ia pernah dibuang oleh Belanda. Rupanya, meski sudah menjadi mantan pejabat pemerintah, yang mensponsori perjalanan itu masih memperlakukan Hatta bak pejabat tinggi negara. Setiba Bung Hatta di Irian (Papua), seseorang menyodorinya amplop tebal berisi uang saku.
Hatta sontak menolaknya. Bagi dia, sudah mendapatkan fasilitas untuk bisa kembali berkunjung ke daerah itu saja sudah lebih dari memadai dan patut disyukuri. “Maaf, Saudara, itu uang rakyat, saya tidak mau terima. Kembalikan!” kata Bung Hatta tegas.
Integritas Seorang Hatta
Iding Wangsa Widjaja, yang selama puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi Hatta, mengungkapkan peristiwa itu dalam bukunya, ‘Mengenang Bung Hatta’. Pada bagian lain buku terbitan tahun 2002 itu, Wangsa juga menulis bahwa dirinya pernah kena teguran Hatta karena menggunakan tiga helai kertas dari kantor Sekretariat Wakil Presiden. Ia dipersalahkan karena menggunakan aset negara untuk membalas surat yang bersifat pribadi. Hatta kemudian mengganti kertas tersebut dengan uang pribadinya.
Masih terkait soal kertas, Gemala Rabi’ah Hatta, putri keduanya, pun mengaku pernah kena tegur sang ayah. Alkisah, Gemala, yang menjadi pekerja paruh waktu di Konsulat RI di Sydney pada 1975, pernah mengirim surat menggunakan amplop berkop Konsulat Jenderal.
Teguran itu tertuang dalam surat balasan yang diterima Gemala dari sang ayah beberapa waktu kemudian. “Ada yang satu Ayah mau peringatkan kepada Gemala, kalau menulis surat kepada Ayah dan lain-lainnya, janganlah dipakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala kan surat privat, bukan surat dinas. Jadinya tidak baik pakai kertas Konsulat.”
Dari situ Gemala mafhum betapa rigidnya Hatta dalam memisahkan mana milik negara dan milik pribadi. “Walaupun sepertinya sepele, hanya selembar amplop,” ungkap Gemala kepada media.
Sampai Ia Mati Sepatu Bally Tidak Terbeli
Bung Hatta wafat pada 14 Maret 1980 pada usia 77 tahun. Hingga masa terakhirnya, ia masih menyimpan guntingan iklan sepatu Bally yang sudah lama ia idam-idamkan. Ia memang bermimpi memiliki sepatu tersebut. Ini karena keuangan Bung Hatta yang belum memungkinkan untuk belanja sepasang sepatu tersebut.
Begitulah secuil cerita tentang integritas dan kesederhanaan seorang Bapak Bangsa yang biasa dipanggil dengan “Bung.” Semoga cerita singkat ini bisa jadi pelajaran buat kita semua.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa Doktoral Hukum Ekonomi Syariah UII Yogyakarta