OPINI: Burden Sharing untuk MBG, Jalan Pintas Syarat Risiko

Yogyakarta, Republiktimes.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu program prioritas Presiden terpilih Prabowo Subianto. Tujuannya cukup mulia, yakni menurunkan angka stunting dan meningkatkan gizi anak-anak Indonesia, mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Namun, polemik muncul ketika wacana pembiayaan program ini melalui skema burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mulai mengemuka.

Burden sharing, atau pembagian beban antara bank sentral dan pemerintah, bukanlah hal baru. Skema ini pernah digunakan pada masa pandemi COVID-19, saat kondisi ekonomi nasional mengalami tekanan luar biasa. Ketika itu, Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara (SBN) secara langsung dari pemerintah, baik melalui mekanisme pasar primer maupun secara khusus dengan bunga rendah atau bahkan tanpa bunga.

Namun demikian, keberadaan skema tersebut bersifat extraordinary, dan hanya diberlakukan dalam situasi darurat ekonomi nasional. Menjadikan burden sharing sebagai solusi pembiayaan program rutin pemerintah, meskipun berlabel prioritas, berisiko mencederai prinsip kehati-hatian fiskal dan independensi bank sentral.

MBG Memang Prioritas, Tapi…

Tak dapat dimungkiri bahwa program MBG memang memiliki urgensi tinggi. Indonesia masih menghadapi prevalensi stunting yang cukup signifikan, yakni sekitar 21 persen, sementara target nasional adalah menurunkannya menjadi 14 persen pada 2024.

Dalam jangka panjang, perbaikan gizi anak tentu berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produktivitas nasional. Akan tetapi, pembiayaan program tersebut tidak boleh menempuh jalan pintas yang dapat merusak fondasi stabilitas ekonomi makro.

Pemerintah perlu menjajaki alternatif pembiayaan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Di antaranya adalah melalui efisiensi dan reprioritasi anggaran, optimalisasi penerimaan pajak, penerapan sin tax dan pajak barang mewah, hingga kemitraan dengan sektor swasta dan BAZNAS dalam pengadaan dan distribusi pangan. Integrasi dengan program perlindungan sosial yang sudah ada juga dapat menjadi pendekatan yang lebih terukur.

Risiko terhadap Stabilitas Ekonomi dan Kredibilitas Institusi

Penggunaan kembali skema burden sharing secara non-darurat membawa sejumlah risiko yang tidak kecil. Beberapa di antaranya adalah:

Pertama, potensi meningkatnya inflasi. Ketika bank sentral terlibat langsung dalam pembiayaan fiskal, terutama melalui pencetakan uang baru, jumlah uang beredar berpotensi meningkat signifikan. Jika tidak dibarengi dengan peningkatan produksi barang dan jasa, tekanan inflasi bisa muncul, yang pada gilirannya akan menurunkan daya beli masyarakat. Ironisnya, termasuk mereka yang menjadi sasaran program MBG itu sendiri.

Kedua, risiko terhadap kredibilitas dan independensi Bank Indonesia. Sejak reformasi moneter pasca krisis 1998, independensi bank sentral telah menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Keterlibatan kembali BI dalam skema pembiayaan fiskal berpotensi menimbulkan persepsi negatif, baik dari pelaku pasar domestik maupun internasional, bahwa BI mulai kehilangan otonominya dan menjadi subordinat pemerintah. Hal ini bisa berdampak pada meningkatnya premi risiko, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, serta menurunnya kepercayaan investor.

Ketiga, bahaya terjadinya moral hazard fiskal. Jika burden sharing dijadikan solusi jangka pendek untuk menambal kebutuhan anggaran program populis, tanpa melalui proses efisiensi anggaran atau reformasi perpajakan yang menyeluruh, maka risiko ketergantungan akan semakin besar. Pemerintah ke depan bisa saja menjadikan BI sebagai sumber pembiayaan mudah, mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan fiskal yang selama ini dijaga dengan ketat.

Penutup

Urgensi program Makan Bergizi Gratis tidak perlu dipertanyakan. Namun, cara pembiayaannya tetap harus mempertimbangkan prinsip tata kelola yang baik, disiplin fiskal, serta menjaga independensi lembaga moneter. Burden sharing, jika terus digunakan di luar masa krisis, akan menciptakan preseden buruk yang dapat menggerus kepercayaan publik dan pasar terhadap integritas kebijakan ekonomi nasional.

Indonesia membutuhkan program pembangunan yang tidak hanya ambisius secara visi, tetapi juga realistis secara eksekusi. Tujuan mulia seperti memperbaiki gizi anak-anak bangsa harus ditempuh dengan cara yang tidak mengorbankan stabilitas ekonomi hari ini maupun masa depan.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta & Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara