OPINI: Emas dan Dilema Investasi di Tengah Isu Resesi Ekonomi

Yogyakarta, Republiktimes.com – Setiap kali bayang-bayang resesi mulai menghantui perekonomian global, satu instrumen investasi kembali menjadi sorotan: emas. Fenomena ini bukanlah hal baru. Dari krisis finansial global 2008 hingga gejolak ekonomi pasca-pandemi, emas selalu menempati posisi istimewa dalam benak para investor. Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada sifat dasar emas sebagai aset pelindung nilai dan simbol keamanan investasi jangka panjang.

Saat ekonomi dilanda ketidakpastian, pasar saham bergejolak, nilai mata uang melemah, dan inflasi meningkat, emas justru menunjukkan performa yang relatif stabil, bahkan cenderung menguat. Inilah yang membuatnya dijuluki sebagai “safe haven” atau tempat berlindung yang aman. Berbeda dengan aset keuangan lain yang nilainya sangat terpengaruh oleh kondisi pasar, emas memiliki daya tahan yang terbukti dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

Emas Aset yang Likuid

Salah satu alasan utama di balik kekuatan emas adalah kemampuannya dalam memberikan perlindungan nilai. Di masa resesi, daya beli uang tunai menurun karena inflasi atau ketidakpastian ekonomi.

Dalam kondisi saat ini, emas tampil sebagai aset yang tidak tergerus waktu. Selain itu, emas sangat likuid. Ia dapat dengan mudah dijual dan dikonversikan menjadi uang tunai kapan saja, sebuah keunggulan yang sangat penting ketika kebutuhan mendesak muncul atau pasar keuangan sedang kacau.

Faktor lainnya yang membuat emas begitu digemari saat resesi adalah permintaannya yang tetap tinggi. Tak hanya sebagai alat investasi, emas juga memiliki nilai intrinsik dalam industri dan perhiasan. Permintaan dari berbagai sektor ini turut menjaga kestabilan harga emas, bahkan memicunya naik ketika permintaan meningkat dan pasokan terbatas.

Beli atau Jual Emas ?

Namun, pertanyaan penting yang sering muncul di kalangan investor adalah: apakah sebaiknya membeli atau menjual emas saat resesi?

Bagi sebagian orang, membeli emas di masa resesi merupakan langkah strategis untuk melindungi kekayaan dan memanfaatkan momentum kenaikan harga. Ketika pasar saham terpuruk dan suku bunga rendah, emas menjadi alternatif investasi yang menjanjikan. Bahkan, bank sentral dari berbagai negara pun kerap meningkatkan cadangan emasnya di masa-masa krisis sebagai bentuk diversifikasi dan perlindungan terhadap volatilitas ekonomi global.

Di sisi lain, menjual emas juga bisa menjadi keputusan yang rasional, terutama bagi investor yang sudah meraih keuntungan dari kenaikan harga. Dalam strategi portofolio yang sehat, penyesuaian aset merupakan hal penting. Menjual sebagian emas saat harganya tinggi bisa membantu menyeimbangkan kembali portofolio dan menyediakan dana tunai untuk kebutuhan lain atau peluang investasi yang lebih menguntungkan.

Namun demikian, keputusan untuk membeli atau menjual emas tidak bisa digeneralisasi. Setiap individu memiliki tujuan investasi, profil risiko, dan kondisi keuangan yang berbeda. Faktor-faktor ekonomi makro seperti kebijakan suku bunga, ketegangan geopolitik, dan arah kebijakan moneter global juga memengaruhi harga emas secara signifikan. Misalnya, ketika bank sentral seperti The Federal Reserve menaikkan suku bunga, investor bisa jadi lebih tertarik pada aset berbunga, sehingga harga emas bisa turun.

Beli Emas Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi?

Yang perlu dicermati adalah dampak kolektif dari tren pembelian emas terhadap perekonomian nasional. Bila terlalu banyak masyarakat mengalihkan dananya ke emas, maka arus uang ke sektor-sektor produktif seperti industri, pertanian, maupun UMKM bisa tersendat.

Emas, sebagai aset pasif, memang menyimpan nilai, tetapi tidak mendorong pertumbuhan ekonomi secara langsung. Berbeda dengan investasi pada sektor riil yang bisa menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam jangka panjang, jika kecenderungan menyimpan kekayaan dalam bentuk emas menjadi terlalu dominan, daya dorong ekonomi nasional bisa melambat. Inilah dilema emas: ia aman bagi individu, namun berisiko stagnan bagi ekonomi bila tak disertai keseimbangan dalam alokasi aset ke sektor produktif.

Penutup

Maka dari itu, emas sebaiknya dipandang bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai bagian dari strategi diversifikasi yang sehat. Dalam lanskap ekonomi yang terus berubah, memiliki emas bisa berarti menjaga pijakan yang kokoh di tengah badai. Tapi seperti semua keputusan keuangan, bijaklah dalam membaca arah angin dan jangan lupa melihat kompas utama: kebutuhan pribadi dan kontribusi terhadap roda ekonomi yang lebih besar.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara

 

Share this post :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on pinterest
Pinterest