OPINI: Ketika Efisiensi Hanya Sekedar Omon Omon

Jakarta, Republiktimes.com – Pemerintah sering menjadikan kata “efisiensi” sebagai mantera sakti setiap kali menghadapi tekanan fiskal atau keterbatasan anggaran. Nyaris di tiap kesempatan, jargon itu dilontarkan untuk menenangkan kegelisahan rakyat bahwa uang negara diatur dengan hati-hati. Namun publik kian sadar, di balik narasi efisiensi yang megah, praktik pengelolaan anggaran masih jauh dari teladan.

Kritik seorang anggota DPR RI baru-baru ini terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani menggugah kesadaran kita. Legislator itu menilai program-program yang langsung menyentuh kepentingan publik, mulai dari subsidi hingga bantuan sosial, justru ditekan atas nama efisiensi. Ironisnya, anggaran perjalanan dinas, pembangunan gedung, dan kegiatan seremoni elite nyaris tak tersentuh.

Inilah paradoks besar anggaran negara kita. Rasionalisasi belanja memang tercatat di laporan APBN, tetapi potongan lebih sering diarahkan ke pos yang menyangkut rakyat kecil. Padahal, belanja tak prioritas terus berjalan tanpa evaluasi mendalam. Ketika rakyat terhimpit inflasi, harga kebutuhan pokok melonjak, dan perlindungan sosial menipis, pemerintah menuntut mereka berhemat, sementara di belakang layar birokrasi masih memelihara gaya hidup mewah dengan label “kepentingan negara”.

Di sinilah efisiensi kehilangan makna sejatinya. Ia berubah menjadi retorika tanpa rasa malu, sekadar pembenaran agar beban rakyat kian berat.

Angan-Angan Memotong Anggaran Hanya Sandiwara Politik

Sri Mulyani, sebagai bendahara negara yang disegani dunia, tak diragukan kemampuannya menjaga disiplin fiskal. Namun rakyat menagih bukti nyata bahwa efisiensi tidak berhenti di ruang rapat atau presentasi data, melainkan hadir dalam pelayanan publik yang lebih adil dan merata. Efisiensi yang hanya memotong hak rakyat, tanpa menata ulang belanja elite birokrasi, hanyalah sandiwara politik.

Kritik anggota DPR yang menohok itu seharusnya menjadi pengingat penting. Pemerintah wajib membuka ruang dialog jujur dan berbasis data agar publik bisa ikut menilai apa yang dipangkas dan apa yang dipertahankan. Ruang partisipasi rakyat mesti diperluas, supaya prioritas anggaran mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar kepentingan kelompok terbatas di pusat kekuasaan.

Efisiensi juga tidak boleh direduksi semata menjadi pemotongan anggaran. Prinsip efisiensi yang sehat berarti memastikan setiap rupiah uang rakyat bekerja optimal, menghadirkan manfaat sebesar-besarnya. Pemerintah punya banyak peluang mewujudkan itu: mulai menata ulang prosedur birokrasi yang berbelit, memangkas kegiatan seremonial, hingga memperketat pengawasan proyek-proyek strategis agar tidak menjadi ajang korupsi berjamaah.

Jika efisiensi hanya dimaknai sebagai pemangkasan anggaran rakyat, sementara perilaku boros para pemangku kuasa tak berubah, maka rakyat berhak menyebutnya omon-omon (basa-basi belaka).

Jangan lupakan bahwa setiap kebijakan efisiensi juga wajib mempertimbangkan dampak sosialnya. Subsidi dan perlindungan bagi masyarakat rentan tak bisa serta-merta dihilangkan. Apalagi di tengah ancaman perlambatan ekonomi dan naiknya biaya hidup, menekan anggaran sosial justru bisa menimbulkan gejolak yang jauh lebih mahal secara politik dan sosial di kemudian hari.

Pangkas Dulu Kepentingan Elit

Pemerintah dituntut berani memotong dulu kepentingan elitenya sebelum memotong hak rakyat. Itulah baru layak disebut efisiensi sejati. Penghematan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan wujud keadilan anggaran yang menghadirkan rasa kepercayaan.

Ketika rakyat sudah diminta berhemat dalam keseharian mereka, sangat tidak pantas bila birokrasi masih mempertahankan pola hidup mahal yang dibungkus kegiatan seremonial. Itulah sebabnya kritik DPR kali ini patut direspons secara serius, bukan diabaikan atau direspons defensif. Jika efisiensi ingin dipercaya publik, maka kebijakan harus transparan, bisa diaudit, dan melibatkan masyarakat sebagai pengawas utama.

Ingatlah, di ujungnya rakyat hanya menuntut satu hal: pemerintah yang konsisten antara kata dan perbuatan. Retorika efisiensi tanpa keberanian memangkas belanja elite birokrasi hanya akan memperlebar jurang ketidakadilan fiskal, sekaligus meruntuhkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat.

Karena itu, jangan biarkan efisiensi menjelma retorika tanpa rasa malu. Jadikan efisiensi sebagai jalan berkeadilan, agar setiap rupiah uang negara betul-betul kembali pada rakyat yang menjadi pemiliknya.[]

Edo Segara Gustanto/Dosen Ekonomi IIQ An Nur Yogyakarta & Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara