Republiktimes.com – Cuaca ekstrem tengah melanda beberapa negara di belahan dunia, tak terkecuali di Meksiko, Amerika Utara. Akibatnya, lebih dari seratus orang meninggal dunia, akibat panas ekstrem yang terjadi pada Juni ini.
Selain itu, para ilmuwan juga mengatakan, bahwa pemanasan global turut berperan penting dalam memperburuk cuaca ekstrem yang terjadi, di antara 12-25 Juni 2023.
Kementerian Kesehatan Meksiko, sempat melaporkan, bahwa jumlah korban pada Rabu (28/6) mencapai 104 orang meninggal dunia. Namun pihak berwenang sebelumnya juga telah melaporkan delapan korban, yang terjadi pada rentang 14 April-31 Mei, sehingga total menjadi 112 jiwa.
“Penyebab utamanya adalah heat stroke, diikuti oleh dehidrasi,” tulis pernyataan Kemenkes Meksiko, dikutip dari Channel News Asia, pada Sabtu (1/7/2023).
Tak hanya itu, gelombang panas yang muncul, juga memicu badai besar dan pemadaman listrik yang terjadi di Tenggara AS. Hal ini pun sempat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kebakaran di Southwest.
Setelah didata, wilayah utara Meksiko menjadi penyumbang angka terbanyak kematian, dengan 64 jiwa, yang tercatat di negara bagian timur laut, Nuevo Leon. Dan 19 korban meninggal di negara tetangga Tamaulipas, yang berbatasan dengan negara bagian Texas, AS.
Bahkan, suhu maksimum di Meksiko saat ini mencapai 49° Celcius, yang tercatat pada minggu ini.
“Tepatnya di negara bagian barat laut Sonora,” tambah Kemenkes.
“Suhu maksimum rata-rata di Meksiko selama musim panas berfluktuasi antara 30° dan 45° Celcius,” tambahnya.
Tak lupa, pihak berwenang turut memperingatkan, bahwa gelombang panas masih akan terjadi mulai 1 Juli. Di mana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sempat memperingatkan, bahwa tahun 2023-2027 hampir pasti akan menjadi periode lima tahun terhangat yang pernah tercatat, karena gas rumah kaca dan El Nino bergabung untuk membuat suhu melonjak.