Republiktimes.com – Sebelum keputusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 sebagai partai non-parlemen, Partai Gelora mungkin dianggap sebagai partai yang tidak punya posisi strategis dan mungkin saja tidak dianggap dalam peta politik Pilkada 2024. Karena sebelum keputusan MK tersebut, partai non-parlemen di Provinsi dan kota/kabupaten suaranya tidak bisa digunakan untuk mengusung calon kepala daerah. Bahkan ada sebagian kader-kader Gelora hilang percaya diri dan hilang optimisme menatap dinamika Pilkada 2024, sehingga mencari jalan lain agar tetap relevan dalam Pilkada 2024.
Terlepas ada “ultra petita” (keputusan di luar yang dimohonkan) dalam keputusan MK , keputusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 merubah medan pertempuran Pilkada 2024. Partai non-parlemen bisa ikut mengusung dan ambang batas pencalonan menjadi lebih kecil membuat kartu politik partai non-parlemen hidup kembali. Kader-kader Partai Gelora yang istiqomah dan loyal pada partai seakan menemukan oasis di tengah gurun. Partai Gelora sampai data terakhir dini hari tadi (30/08) total berpartisipasi sebagai “pengusung” calon kepala daerah di 27 dari 37 provinsi (72,97%), 210 dari 415 kabupaten (50,60%) dan 45 dari 93 kotamadya (48,39%); From Zero to Hero, atau seperti status media sosial salah satu pimpinan pusat Partai Gelora mengatakan ; “Gelora, partai nol koma yang bikin pilkada lebih meriah”.
Meriahnya Pilkada 2024 memang tidak terlepas dari Partai Gelora. Memang yang melakukan judicial review adalah Partai Buruh dan Partai Gelora, tetapi Partai Gelora memiliki beban tersendiri karena bagian dari Koalisi Indonesia Maju. Bagaimana tidak meriah, semua partai non-parlemen bisa ikut mengusung, ambang batas turun sehingga memungkinkan banyak calon kepala daerah bisa diusung. Pilkada Banten yang tadinya hampir dipastikan akan melawan kotak kosong ternyata justru membuat banyak kejutan. Pilkada Jakarta, Ridwan Kamil-Suswono di atas kertas hampir dipastikan akan menang mudah melawan calon perseorangan Dharma-Kun ternyata harus juga melawan pasangan yang tidak boleh dianggap enteng; Pramono Anung-Rano Karno. Bahkan di Jawa Timur, 3 wanita hebat akan bertarung memperebutkan kursi gubernur Jawa Timur. Bahkan di Jawa Barat yang di prediksi akan mengulang pertarungan Pilpres dengan 3 pasang calon justru memberi kejutan dengan 4 pasang calon yang mendaftar.
Terlepas dari dinamika politik yang terjadi setelah keputusan MK, maka situasi ini banyak memberikan pembelajaran penting bagi Partai Gelora :
1. Ikhtiar Partai Gelora untuk tetap relevan dan menghidupkan demokrasi dalam Pilkada dengan mengajukan judicial review adalah ikhtiar yang pada akhirnya membuktikan bahwa Partai Gelora tetap relevan dan menjadi game changer.
2. Capaian Partai Gelora yang diatas 50% dalam mengusung calon kepala daerah dengan waktu sekitar 10 hari membuktikan determinasi pengurus Partai Gelora di wilayah dan daerah untuk membuat Partai Gelora tetap relevan.
3. Pilkada berbeda dengan pileg, sangat mungkin partai nol koma lebih bisa memasarkan calon dalam pilkada daripada partai delapan koma. Atau sebaliknya, bisa saja partai delapan koma tidak bisa maksimal dalam memasarkan calonnya dalam Pilkada. Lupakan hasil pileg 2024, saatnya Partai Gelora relevan di Pilkada 2024, ayo move on.
4. Play Maker utama politik adalah partai politik, itu kemauan undang-undang dan struktur demokrasi kita. Anies Baswedan dan Ronald menjadi contoh sederhana. Tokoh gagal maju pilkada karena partai politik dan orang bangun tidur pun bisa tiba-tiba maju pilkada.
5. Pilkada hanyalah permulaan, setelah Pilkada maka tiap-tiap partai akan bertarung kembali memperebutkan kue kekuasaan, begitulah siklusnya. Tetapi satu hal penting yang harus dijaga, demokrasi untuk kesejahteraan rakyat
@irfanenjo