Republiktimes.com – Perubahan iklim, rupanya tak hanya membawa dampak negatif terhadap pergeseran suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang yang terjadi di Indonesia. Melainkan, juga berdampak pada kerugian materi yang dialami.
Hal itu ditegaskan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati (SMI), bahwa Indonesia mengalami kerugian besar akibat fenomena perubahan iklim, yang bahkan mencapai hingga Rp 544 triliun, dalam periode 2020-2024.
Kerugian tersebut dipastikan setelah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan estimasi kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim tersebut.
“Bappenas mengestimasi kerugian mencapai Rp 544 triliun pada periode tahun 2020-2024,” ujar Sri Mulyani, dalam acara Pertemuan Nasional RBP REDD+ Tahun 2024, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dilansir dari laman Kementerian Keuangan, Sri Mulyani juga menjelaskan, bahwa dampak dari perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut telah mempengaruhi nilai Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Dengan perkiraan, bahwa GDP Indonesia akan terpengaruh antara 0,66 – 3,45%.
“Jadi kalau kita bicara tentang GDP itu sekitar Rp 20,6 ribu triliun, maka kita bicara mengenai angka kerusakan dan kerugian yang nilainya bisa mencapai Rp 600,45 triliun,” tambahnya.
Karenanya, Sri Mulyani juga mengatakan, bahwa dampak perubahan iklim akan turut berpengaruh pada kehidupan manusia, seperti sektor ekonomi dan keuangan.
Pun demikian, Indonesia telah secara sistematis berupaya untuk menghindari malapetaka yang disebabkan oleh perubahan iklim tersebut. Di mana salah satu bentuknya ialah melalui Green Climate Fund, yang memberikan pembayaran berdasarkan kinerja atau Pembayaran Berbasis Hasil dari REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation).
Meski demikian, Sri Mulyani, yang juga eks Direktur Pelaksana Bank Dunia, menegaskan, bahwa usaha Indonesia untuk mengurangi dampak perubahan iklim tidak hanya bergantung pada pembayaran dari lembaga internasional. Namun juga terkait dengan kebijakan dan peraturan yang diterapkan.
“Ini juga masalah inklusivitas, di mana partisipasi dari semua masyarakat dan jajaran serta stakeholder menjadi penting,” tegasnya.
Adapun beberapa kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat demi menghindari dampak ekonomi akibat perubahan iklim, di antaranya climate budget tagging, sukuk hijau, pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dan partisipasi dalam pendanaan multilateral seperti Global Environment Facility (GEF).
Dirinya pun berharap, agar pemerintah daerah juga memiliki keterlibatan dan komitmen yang sama kuatnya dengan pusat, melalui climate budget tagging di tingkat regional.
“Dalam forum ini, saya berharap dapat dilakukan diskusi dan pertukaran pikiran, pengalaman, dan pengetahuan terkait dengan program perubahan iklim, terutama dengan penekanan pada sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan,” pungkasnya.