Republiktimes.com – Hari itu cuaca cerah melingkari Jordan. Setelah menghabiskan kebab yang tersisa, tiba tiba saja Fadli Zon merasa ia mendapatkan ide yang sangat bagus, yaitu melakukan sebuah perjalanan menarik yang pasti akan diminati oleh Prabowo, melawat ke Yerusalem Palestina. Kacamatanya naik turun mengikuti kerut semangat di wajahnya. Kemeja polos putih yang dipakai mengeluarkan cahaya lampu seperti lampu ultra man ketika hendak mengeluarkan senjata.
“Pak Prabowo, menarik kalau kita lanjut ke Yerusalem,” ujar Fadli, masih sumringah.
Prabowo diam sejenak dan tersenyum datar, ia melihat wajah Fadli dengan serius. Kali ini, tatapan serius itu membuat kacamata Fadli jatuh.
“Saya tidak akan masuk ke satu wilayah yang masih dijajah, dan saya hanya bisa masuk ke tempat yang sudah merdeka,” alih – alih api yang menjalar dari suara Prabowo, namun sinyal kuat bahwa Prabowo memiliki tekad untuk menjadi faktor penyebab bebasnya Palestina dari entitas terkutuk yang memang disebut Tuhan sebagai kera dalam Alqur’an itu.
Konsistensi ucapan dan perilaku menjadi ciri khas dari seseorang yang berkali – kali mengalami patahan dalam fase kehidupan tersebut. Ketika ia mengatakan akan berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina, maka sumber daya yang dimiliki, baik dari pribadi maupun kekuataan dan otoritasnya dalam negara dipergunakan untuk sebuah dukungan tersebut. Ia memberikan sumbangan hitungan milyar dari kantong pribadi, menggunakan otoritasnya dalam kementerian pertahanan untuk memberikan beasiswa kepada anak – anak Palestina untuk belajar di Indonesia, mengirimkan kapal rumah sakit, menyiapkan pasukan perdamaian serta banyak hal lain yang ia lakukan.
Selanjutnya, sebagai prajurit yang memahami falsafah kemiliteran, tentu saja ia meyakini apa yang Filsuf Yunani bernama Tucydides katakan bahwa yang kuat melakukan apa yang dia mau, sedangkan yang lemah akan menderita sebagai sebuah keharusan.
Maka pada malam debat capres kemarin, ketika ia mengatakan bahwa Gaza itu lemah, tentu saja diartikan bukan dalam konteks lemah dalam spirit perjuangan apalagi lemah dari sisi keimanan, sehingga dalam kondisi terpuruk Bangsa Palestina tetap mampu menjaga apa yang dinamakan sebagai marwah bangsa dan agama. Namun fakta empiriknya adalah pertarungan tidak imbang karena teknologi militer tidak sama dengan negara – negara adidaya itu. Korban terbanyak ada di pihak Palestina.
Kita bisa melihat bahwa Prabowo ingin memastikan Indonesia tidak boleh berada di posisi yang sama seperti Palestina di saat kita tidak memiliki kekuatan militer yang setara dengan negara adidaya. Karena terminologinya adalah, kita tidak akan mungkin mencapai sebuah perdamaian jika tidak memiliki satuan militer yang kuat. Si vis pacem para bellum.
Maka dari situlah harus lahir sebuah kesadaran baru dalam tubuh Bangsa Indonesia bahwa Indonesia yang menjadi negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia yang paling ditunggu dunia untuk menjadi pembebas Bangsa Palestina, dengan pemimpin yang paham betul geopolitik sejak awal sekaligus juga sebagai jenderal perang yang bisa mengantarkan kita pada pembebasan Palestina kelak. Pemimpin tersebut bernama Prabowo. Fa InsyaAllah.
Catatan kecil: tulisan ini kupersembahkan untuk Karina Maryana, gadis yang menangis ketika melihat foto penembakan Muhammad Ad-Durrah, juga untuk bangsaku, Bangsa Indonesia.
Zahra
Alumni KAMMI