Yogyakarta, Republiktimes.com – “Negara hanya mengakomodir hukum Islam yg ada duitnya,” ungkap seorang teman di kelas yg kami ikuti. Saya pikir ada benarnya, ada Undang Undang (UU) Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), dll. Bagaimana hukum potong tangan buat koruptor (maling)? Ya pasti banyak penolakan.
Tapi saya menilai, ini lebih baik. Karena Negara kita masih mengakomodasi Hukum Islam dalam beberapa hal. Bahkan ada Hukum Kompilasi Islam yg merupakan kodifikasi hukum Islam pertama di Indonesia, meski ini hanya bersifat Inpres dan ditindaklanjuti dengan keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama di tanggal 21 Maret 1985.
Omong-omong soal korupsi, UU KPK belum lama dipreteli kewenangannya. Belum lagi mayoritas penyidik dan pegawai KPK (57 pegawai) yang saya nilai cukup berintegritas diberhentikan dengan alasan tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Indonesia Bukan Negara Agama
“Indonesia bukan negara Agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Indonesia telah memilih bentuk religious nation state, yakni negara berdasarkan atas Pancasila. Hukum nasional yang berlaku merupakan serapan dari beberapa nilai-nilai luhur agama, budaya, serta adat istiadat yang tumbuh mengakar dalam masyarakat Indonesia yang plural.” Hal ini disampaikan Moh. Mahfud MD dalam tulisannya yg berjudul, “Islam, Lingkungan Budaya, dan Hukum dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia.”
“Indonesia tidak mendasarkan diri pada satu agama, tetapi melindungi segenap warga negaranya untuk melaksanakan ajaran agama yang dipeluknya masing-masing sebagai hak asasi manusia”, tulis Mahfud MD dalam pendahuluan tulisan tersebut.
Saya setuju Indonesia mengakomodasi hukum Islam, Common Law yang berkembang di masyarakat, serta aturan yang dibuat Negara untuk kebaikan masyarakatnya. Akan tetapi ada juga UU yang cenderung memuat kepentingan pemodal dan politisi rakus. Ada UU Cipta Kerja yang sudah dibatalkan Pemerintah, lalu digulirkan lagi oleh Pemerintah melalui Perpu. Ini perlu kita kritisi.
Umat Islam di Posisi Mana?
Ya, saya sejauh ini menganggap apa yang dikatakan senior saya di UII, Prof. Moh. Mahfud MD sudah tepat. Dasar ideologi negara kita, Pancasila sudah kita sepakati. Pancasila menjadi sumber hukum nasional sudah menjadi konvensi founding father Negara kita. Umat Islam harus menerima Pancasila sebagai produk mitsaq ghalizh.
Paling tidak, ketika kita beribadah kita dilindungi dan diberi rasa nyaman oleh Negara. Belum lagi UU yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah yang sudah ada dan eksis di Negara kita.
Ada kaidah “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” dalam konteks bernegara bisa diartikan, “jika tidak bisa menjadikan negara berdasar Islam secara formal, maka jangan tinggalkan peluang-peluang yang masih ada untuk memperjuangkan nilai-nilai substantif ajaran Islam sebagai bagian dari substansi yang bisa disumbangkan kepada hukum nasional. Allahu a’lam.[]
Edo Segara Gustanto/Mahasiswa S3 HIPD UII Yogyakarta