Kalimat tersebut entah mulai kapan dipopulerkan dan entah siapa yang mengucapkannya, tapi hingga hari ini kalimat tersebut tetap menjadi sebuah kenyataan yang terus berulang.
Para pemula atau orang yang sedari awal adalah pencetus ide, penggerak paling depan, penyampai suara paling keras, nyatanya ditelan oleh revolusi yang ia atau mereka gaungkan sendiri.
Ditelan dengan berbagai cara, mulai dari yang paling mudah atau halus lalu menyingkir dengan sendirinya sampai dengan cara keras yang melibatkan banyak orang, yang belum tentu paham keadaan yang terjadi, untuk menjatuhkan bahkan menyelesaikan atau mengakhiri hidup para revolusioner tersebut. Yang tidak jarang kisahnya berakhir dengan hina.
Fenomena yang terjadi biasanya adalah teman seiring (dibaca: lawan politik) yang sedari awal hanya mengekor menunggu momen untuk menjatuhkan para revolusioner, dengan membangkitkan perselisihan-perselisihan yang telah lama dilupakan yang biasanya memuaskan beberapa kebutuhan yang tak-sadar, sebuah kebutuhan yang didalam dirinya sendiri (dibaca: diri para teman seiring tersebut) -namun- tidak mengikuti garis perselisihan-perselisihan tersebut (sumber: revolusi permanen) yang tidak kunjung selesai.
Dan seperti pada umumnya sebuah perdebatan yang kadang tidak ada penyelesaian kata sepakat tentunya tidak dengan membawanya menjadi hal yang personal atau malah mencap siapa salah siapa benar, karena pada kenyataan kita sampai kapanpun sebagai seorang yang berfikir yang diberikan akal oleh Tuhan sedang mencari konsep terbaik saat ini dan akan terus berulang sampai kapanpun dunia masih berputar.
Akan menjadi sangat picik membawa perselisihan pemahaman menjadi sebuah pukulan untuk menjatuhkan seseorang secara personal hingga menghilangkan kehidupannya.
Dalam kondisi tersebut yang umum terjadi dan nampak jelas hanyalah usaha teman seiring yang ingin menyingkirkan para revolusioner tersebut karena menghalangi jalannya menuju puncak atau kuasa yang nampak menggiurkan untuk diperebutkan.
Yang sangat disayangkan adalah entah berapa banyak orang yang mungkin tidak ikut disingkirkan teman seiring tersebut namun mengerti keadaannya akan tetapi tidak berbuat banyak, bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Hingga malah nampak menjadi pendukung teman seiring.
Dan bumi terus berputar, begitupun pikiran terus berkembang. Perdebatan dan perselisihan akan terus terjadi.
Dan jika kita sampai di titik tersebut kembali, dimana revolusi memakan anaknya sendiri, namun kita hanya bisa berkata, kita tidak tahu kebenarannya jadi tunggulah keadilan di hari perhitungan kelak.
Lalu apa bedanya kita dengan teman seiring tersebut…