Republiktimes.com – Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi (KPD), Miftahul Arifin, turut menyoroti adanya 24 daerah yang harus melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) atau pencoblosan ulang. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius dan penyelenggara Pemilu perlu di evaluasi.
“Pilkada yang diulang harus menjadi perhatian serius karena ini menandakan adanya kecacatan prosedur atau pelanggaran yang signifikan dalam proses demokrasi, dalam hal ini penyelenggara Pemilu perlu dievaluasi kinerjanya,” ungkap pria yang akrab dipanggil Miftah, Selasa (25/2/2025).
Menurutnya, daerah yang Pilkada-nya diulang, menandakan adanya penyelenggaraan Pemilu yang tidak jujur. Bisa jadi terjadi kecurangan, politik uang, atau pelanggaran administratif.
“Berarti dalam penyelenggaraannya ada yang cacat, tentu ini harus menjadi evalalusi bagi penyelenggara karena kalau dibiarkan akan menjadi preseden buruk dalam demokrasi,” terangnya.
Lanjut dia, Pilkada yang cacat bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Terutama jika prosesnya tidak berjalan dengan jujur, transparan, dan adil.
“Sebab itu KPU dan Bawaslu harus memastikan bahwa seluruh proses pemilu berjalan transparan dan bisa diawasi oleh publik,” ujarnya.
Miftah juga menekankan bahwa PSU adalah momentum penting bagi penyelenggara untuk melakukan evaluasi dan memperbaiki demokrasi. Memperbaiki penyelenggaraan dengan menguatkan pengawasan terhadap potensi politik uang, intimidasi, dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Pemilih perlu diberi pemahaman bahwa Pilkada ulang adalah kesempatan memperbaiki demokrasi. Memperbaiki kekurangan yang terjadi sebelumnya agar demokrasi semakin berkualitas,” tukasnya.
Diketahui, Ada sekitar 40 putusan PHPU yang dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Secara keseluruhan terhadap 40 perkara tersebut, MK mengabulkan sebanyak 26 perkara, menolak 9 perkara, dan tidak menerima sebanyak 5 perkara, dan sebanyak 24 daerah harus PSU atau pencoblosan ulang.