Republiktimes.com – Ketua Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPPD), Achmad Satryo Yudhantoko, turut angkat bicara terkait revisi UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang berujung gelombang aksi massa besar-besaran yang terpusat di sekitar Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis (22/8/2024).
Menurutnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah mengangkangi konstitusi dengan merevisi secara kilat UU Pilkada, karena Putusan Mahkamah Konsitusi (MK) Nomor 60 dan 70/PUU-XXII/2024 ditafsir secara ugal-ugalan demi kepentingan segelintir elite.
“Cara-cara DPR telah mengebiri konstitusi, menabrak prosedur dalam menyusun peraturan perundang-undangan demi kepentingan segelintir elite tertentu,” ujar Satryo, saat ditemui di aksi demonstrasi di depan Gedung MK, Jakarta.
Ryo, sapaan akrabnya, menilai, bahwa DPR RI seharusnya tidak mengabaikan aspirasi masyarakat sehingga muncul berbagai penolakan terhadap RUU Pilkada ini.
“Rakyat sudah marah, tak lagi bisa acuh dengan tindak-tanduk elite Senayan yang mengakomodir rezim. Harus mereaksi melalui parlemen jalanan,” sambungnya.
Ryo memandang, Putusan MK dalam literasi hukum tata negara adalah yang terakhir dan tak bisa lagi dianulir (final and binding). Sehingga, apabila DPR RI masih ngotot mengesahkan RUU Pilkada melalui Rapat Paripurna (Rapur) “colongan”, maka yang terjadi adalah pembangkangan terhadap konstitusi negara.
“Ini juga menjadi penyebab kenapa masyarakat marah terhadap sikap para wakil rakyat. Suara rakyat kan suara Tuhan, dilindungi konstitusi, mau diatur-atur tanpa melibatkan elemen masyarakat,” kata Ryo.
Di samping itu, Ryo juga menyoroti gelagat KPU yang terkesan menunda-nunda tindak lanjut Putusan MK terkait aturan pencalonan kepala daerah, dengan melontarkan alasan wajib berkonsultasi dengan DPR agar tidak kena sanksi etik lagi dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Seharusnya KPU bisa independen dalam menjalankan tugasnya, dengan mematuhi Putusan MK soal syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas usia minimum kepala daerah. Tidak terkesan mengekor DPR RI,” tuturnya.
Oleh karenanya, Ryo berharap, agar kondisi politik jelang Pilkada Serentak 2024 ini bisa kembali kondusif. Di mana menurutnya, hal itu bisa dilakukan apabila KPU RI sebagai penyelenggara Pemilu dapat bersikap independen, memahami secara utuh hukum ketatanegaraan, dan melepas kendali politik yang selama ini dicurigai masyarakat luas.
Di samping itu, DPR RI sebagai pemangku kebijakan pembuat undang-undang tidak menjadi “Dewan Perwakilan Rezim” sehingga cawe-cawe dengan penguasa hari ini, tetapi mengembalikan peran dan fungsinya sebagai kepanjangan tangan rakyat Indonesia.
“Jangan lagi ada perpecahan di masyarakat karena ego elite politik dalam berkuasa. Kedaulatan rakyat harus ditegakkan, dan semua pihak termasuk KPU dan DPR RI harus mematuhi putusan MK,” tutup Ryo.