Sejarah Hari Valentine
Hari Valentine (Valentine’s Day) atau disebut juga hari kasih sayang, dirayakan tiap tanggal 14 Februari. Penetapan tanggal tersebut berasal dari Hari Pesta (perayaan Liturgi dalam Gereja Katolik) penganut agama Kristen yang menghormati satu atau dua martir agama Kristen bernama Santo Valentinus dan, melalui tradisi rakyat, menjadi perayaan percintaan yang signifikan dalam budaya, agama, dan komersil di banyak bagian dunia.
Ada beberapa kisah martirdom (kesyahidan dalam Islam) yang diasosiasikan dengan berbagai Santo Valentinus yang terkait dengan 14 Februari, termasuk catatan pemenjaraan Santo Valentinus di Roma karena melayani orang Kristen yang ditindas oleh Kerajaan Romawi pada abad ke-3. Menurut tradisi kuno, Santo Valentinus mengembalikan penglihatan anak perempuan dari pemenjaranya.
Penambahan-penambahan ke legendanya lebih mengaitkannya ke tema percintaan: pembubuhan legenda pada abad ke-18 mengklaim bahwa dia menulis surat ke anak perempuan pemenjaranya yang ditandatangani “Valentine-mu” sebagai bentuk berpamitan sebelum eksekusi; salah satu tradisi lain menyatakan bahwa Santo Valentinus melakukan pernikahan untuk prajurit Kristen yang tidak boleh menikah.
Sakramen Gelasia, sebuah kitab Liturgi (peribadatan) Kristen, yang memuat peran imam dalam merayakan Ekaristi pada abad ke-8, mencatat perayaan Hari Raya Santo Valentinus pada 14 Februari. Hari ini dikaitkan dengan percintaan pada abad ke-14 dan 15 ketika gagasan cinta bahaduri (sebuah konsepsi harfiah pada Eropa abad pertengahan dari kecintaan yang dipegang oleh kaum bangsawan dan kesatria) berkembang, kelihatannya karena asosiasi dengan “burung cinta” pada awal musim semi.
Di Inggris abad ke-18, kekasih mengekspresikan cintanya satu sama lain dengan memberikan bunga, kembang gula, dan mengirim kartu ucapan mulai dinamakan “Valentine”. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sketsa hati, burung dara, dan figur Cupid bersayap (Dewa Cinta).
Sejak abad ke-19, sebagian kartu ucapan tulis tangan digantikan kartu ucapan yang diproduksi secara massal. Di Italia, Kunci Santo Valentinus diberikan ke kekasih yang diartikan sebagai simbol percintaan dan ajakan untuk membuka hati pemberi, dan anak untuk menangkal Epilepsi yang juga dinamakan Penyakit Santo Valentinus.
Hari Santo Valentinus bukan hari raya publik di negara apapun, walaupun hari itu adalah hari raya resmi pada Gereja Lutheran (Salah satu denominasi gereja-gereja Protestan yang berasaskan teologi Martin Luther) yakni tokoh reformasi Gereja dan Persekutuan Anglikan (afiliasi sedunia dari Gereja-gereja Anglikan).
Banyak orang pengikut Gereja Ortodoks Timur juga merayakan Hari Santo Valentinus pada 6 Juli untuk menghormati Presbiter (Penatua/Pastor) Romawi Santo Valentinus, dan pada 30 Juli untuk menghormati Hieromartir (seorang martir yang adalah seorang uskup atau imam) Valentine, Uskup Interamna (Kota-Terni modern). (Wikipedia)
Hari Valentine di Indonesia
Indonesia, yang merupakan negara muslim terbesar di dunia hampir sepenuhnya tidak menerima peringatan Hari Valentine. Salah satu hal yang melatarbelakangi penolakan tersebut adalah karena kentalnya hari kasih sayang tersebut dengan agama non muslim.
Sehingga sekecil apapun bentuk dari perayaan tersebut, meski hanya pembelian sebuah coklat yang didiskonkan dalam 1 hari tersebut, tidak diterima oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Hari Bersama
Mengkaji sejarah Hari Valentine yang faktanya manusiawi (dibaca: berlaku untuk semua orang), nampaknya belum membuat masyarakat Indonesia menerima perayaan hari tersebut. Untuk itu mungkin kita bisa mencoba berdiri di tengah. Kita mungkin perlu sama-sama membuka pandangan terkait pembebasan yang selalu dibawa oleh siapapun, begitupun oleh agama, begitu juga agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Sebuah bentuk pembebasan yang terus di gaungkan entah oleh seorang yang beragama atau tidak, nyatanya untuk pembebasan semua orang, tentunya patut kita apresiasi.
Kita mungkin terus menemukan fakta sejarah yang tiada henti dari dulu hingga kini bahwa ada orang yang mengajukan dirinya mencoba menyuarakan kebutuhan orang lain di sekitarnya, yang mungkin akan disebut berbeda dalam agama yang berbeda tapi kenyataannya hal tersebut di pandang sebagai sikap yang sama, pengorbanan diri atau menjadikan diri bermanfaat untuk semua orang.
Dan sekali lagi, tentu kita perlu mengapresiasi pengorbanan orang tersebut.
Dalam Islam kita menyebutnya syahid. Meski klaim syahid selalu dalam perdebatan karena tidak ada yang bisa mengklaim hal tersebut.
Dalam Kristen disebut Martirdom.
Dalam pandangan umum kita menyebutnya pahlawan.
Valentine dan Feodalisme
Kenyataan yang di perjuangkan Santo Valentinus yang mencoba berjuang melawan penguasa dari kerajaan Romawi pada abad ke-3 tersebut tentunya adalah sebuah keberanian. Keberanian seorang pahlawan.
Pahlawan yang mencoba melawan feodalisme.
Feodalisme yang saat itu mengukung dan mengekang masyarakatnya.
Dan bahwa ia mencoba berdiri melawan feodalisme, tentunya patut kita apresiasi.
Bahwa feodalisme apapun bentuknya memang perlu kita lawan.
Atas nama apapun.
Dulu dan kini.